Jum`at, 25 April 2025
Beranda / Berita / Aceh / Kekerasan oleh Oknum Keuchik, Ketua APDESI Aceh Serukan Penegakan Hukum dan Rekonsiliasi

Kekerasan oleh Oknum Keuchik, Ketua APDESI Aceh Serukan Penegakan Hukum dan Rekonsiliasi

Kamis, 24 April 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Ketua DPP APDESI Aceh, Muksalmina Asgara menegaskan bahwa tindakan kekerasan dan provokasi oleh oknum pemimpin desa merupakan pelanggaran serius terhadap etika kepamongprajaan dan prinsip keadilan. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Insiden kekerasan yang melibatkan oknum Keuchik (kepala desa) Gampong Kedai Runding, inisial DZ, di Gampong Suak Bakong, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, mencoreng marwah kepemimpinan lokal. Seorang pemuda berinisial Satria menjadi korban pemukulan massa setelah diduga diprovokasi oleh DZ. Peristiwa ini memantik reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Provinsi Aceh.

Selaku Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) APDESI Aceh, Muksalmina Asgara menyatakan keprihatinan mendalam atas insiden tersebut. Dalam pernyataan resminya, ia menegaskan bahwa tindakan kekerasan dan provokasi oleh oknum pemimpin desa merupakan pelanggaran serius terhadap etika kepamongprajaan dan prinsip keadilan.

“Kami mengecam keras segala bentuk kekerasan, apalagi yang melibatkan pemimpin desa yang seharusnya menjadi pelindung dan penjaga harmoni masyarakat. Tindakan ini tidak hanya melukai korban, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan desa,” tegas Muksalmina, Kamis (24/4/2025).

Muksalmina menekankan bahwa APDESI Aceh tidak akan memberikan pembelaan terhadap anggota yang terbukti melanggar hukum.

“Prinsip kami jelas: siapapun yang bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Kami mendukung proses investigasi yang transparan dan independen oleh aparat berwenang,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengkritik praktik provokasi massa yang dinilai sebagai langkah destruktif dan tidak mencerminkan kearifan lokal Aceh yang menjunjung tinggi musyawarah.

“Aceh memiliki tradisi peusijuek (rekonsiliasi) dan penyelesaian konflik secara adat yang beradab. Pemimpin seharusnya menjadi mediator, bukan pemantik konflik,” tambahnya.

Sebagai solusi, Muksalmina mendorong dua langkah konkret: Pertama, penegakan hukum tanpa tebang pilih terhadap oknum terduga pelaku. Kedua, upaya rekonsiliasi melalui peradilan Adat gampong atau dialog antarwarga dengan melibatkan tokoh adat, ulama, dan pemerintah setempat untuk memulihkan kerukunan.

“Kami siap memfasilitasi mediasi jika diperlukan. Yang terpenting, masyarakat tidak boleh terpecah-belah karena aksi segelintir orang yang tidak bertanggung jawab,” paparnya.

Ia juga mengingatkan para Keuchik se-Aceh untuk menjadikan insiden ini sebagai refleksi. “Kekuasaan di tingkat desa bukan alat untuk menindas, melainkan amanah untuk melayani. Mari kembali kepada semangat UUD Desa yang mengedepankan partisipasi, demokrasi, dan kemanusiaan,” pesannya.[ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dinsos
inspektorat
koperasi
disbudpar