Kata Pakar Terkait Pilkada Aceh dalam Rapat Dengar Pendapat di DPRA
Font: Ukuran: - +
Reporter : Riski
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar rapat dengar pendapat pakar terkait tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak Aceh tahun 2022 di Ruang Rapat Badan Musyawarah DPRA, Rabu (17/2/2021).
Dalam Rapat tersebut turut hadir Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin, anggota Komisi I dan Pakar Pengamat Hukum dari beberapa lembaga pendidikan perguruan tinggi di Aceh.
Rapat dengar pendapat tersebut berkaitan Pilkada serentak tahun 2022 di Aceh yang terancam batal dengan ditandai surat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI beberapa waktu lalu.
Surat yang dimaksud adalah surat KPU Nomor 151/PP.01.2-SD/01/KPU/II/2021 yang diteken Plt Ketua KPU Ilham Saputra. Surat tersebut berisi tanggapan rancangan tahapan, Program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan yang ditujukan ke Ketua KIP Aceh yang berpotensi mengubah jadwal Pilkada Aceh tahun 2022 menjadi tahun 2024.
Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin mengatakan rapat ini diselenggarakan bertujuan untuk membangun pemikiran terkait pemilihan daerah yang menjadi polemik dan perdebatan sampai saat ini.
Akademisi Fakultas Hukum Malikussaleh, Jamaluddin menyampaikan, Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) merupakan aturan hukum yang harus dihormati dan tidak bisa diintervensi termaksud tentang penyelenggaraan Pilkada di Aceh.
"UUPA bukan merupakan sebuah pedoman. Namun, aturan hukum yang berlaku di Aceh sebagai sebuah keistimewaan, menurut saya hal ini tidak dapat diintervensi lagi termasuk pelaksanaan pemilu di Aceh yang dilaksanakan oleh KIP bukan KPU. itu merupakan aturan Hukum yang harus di hormati,” ujar Jamaluddin.
Ia berharap, agar semua bersatu terhadap kekhususan Aceh yang tidak dapat di batalkan dengan surat edaran.
Hal senada disampaikan Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK), Kurniawan mengatakan menurutnya sebuah undang-undang atau keputusan masih sah dan berlaku sebelum dibatalkan oleh pengadilan atau lembaga sendiri seperti DPRA yang mengatur Qanun di Aceh sebagai sebuah keistimewaan.
"Menurut saya sifat dari sebuah keputusan, sebelum dibatalkan oleh pengadilan atau sebelum dibatalkan oleh lembaga sendiri seperti DPRA jika di Aceh, maka Undang-undang tersebut dianggap benar dan masih berlaku," kata Kurniawan.