Beranda / Berita / Aceh / Kasus Mafia Tanah Masih merajalela, Ini Kata Hermanto

Kasus Mafia Tanah Masih merajalela, Ini Kata Hermanto

Selasa, 01 Februari 2022 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Praktisi Hukum, Pengamat Pemerintahan dan Pembangunan, Hermanto, SH. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus mafia tanah yang kini masih menjadi masalah di Aceh masih menjadi problem yang cukup memprihatikan.

Praktisi Hukum, Pengamat Pemerintahan dan Pembangunan, Hermanto, SH mengatakan, seseorang yang memiliki tanah, pasti memiliki alat bukti kepemilikan atas tanah. Sertifikat merupakan alat bukti hak atas tanah dan sebagai alat pembuktian yang kuat menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 yang diterbitkan melalui pendaftaran tanah. 

"Bagi seseorang yang dalam hal ini belum memiliki sertifikat hak atas tanah, maka perlu membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah tersebut dengan alat-alat bukti lainnya selain sertifikat. Tanah yang belum memiliki sertifkat sangat rentan terjadi konflik atau sengketa dengan pihak lain," ujarnya kepada Dialeksis.com, Selasa (1/2/2022).

KemudianDirinya menjelaskan, berdasarkan UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, sertifikat tanah yang sah di mata hukum adalah Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), dan Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS).

Dalam hal ini, kata Hermanto, para tersangka mafia tanah itu dikenakan Pasal 266 KUHP, 264 KUHP, 263 KUHP juncto pasal 56 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 8 tahun penjara.

Lantas upaya seperti apa agar dapat mengurangi terjadinya kasus mafia tanah, Hermanto menjelaskan, Pertama, periksa status objek tanah yang akan dibangun atau dibeli ke Badan Pertanahan Negara (BPN), pastikan status kepemilikan objek tanah atas nama pemilik ataupun pengembang. Apabila status kepemilikan atas nama orang lain selain pemilik atau pengembang masyarakat patut mencurigai dan mencari tahu informasi lebih dalam.

"Cara kedua, sebelum melakukan aktivitas jual beli properti, calon pembeli harus mencari tahu informasi mengenai pengembang properti. Salah satunya mencari informasi apakah pengembang tergabung kedalam himpunan pengembang properti di Indonesia seperti Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) atapun himpunan lainnya yang tervalidasi," jelasnya.

Lanjutnya, terkahir, cara ketiga untuk menghindari mafia tanah yakni, calon pembeli properti perlu mempelajari dan memahami hak-hak konsumen sebelum menandatangi kesepakatan jual beli. Pemahaman ini berguna untuk calon pembeli dapat memahami kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang akan terjadi selama proses jual beli dan mengetahui solusi yang tepat terkait permasalahan tersebut.

Bila merujuk sesuai aturan agar seseorang mendapatkan suatu hak properti ataupun tanah secara legal, Hermanto menjelaskan, Pertama adalah memastikan keaslian tanda bukti hak atas tanah di Kantor Pertanahan tempat lokasi tanah Anda berada.

Kedua, buatlah Akta Jual Beli (AJB) tanah yang dibuat di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas di wilayah lokasi tanah, jangan menggunakan PPAT di luar wilayah kewenangan kerjanya.

Ketiga, jika penjual akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan dan akan dilunasi dalam jangka waktu tertentu maka diperlukan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PBJB) di hadapan Notaris, karena PBJB yang dihadapan notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sesuai dengan Pasal 1870 KUH Perdata.

Keempat, apabila penjual sudah menikah, maka tanah dan bangunan akan menjadi harta bersama, sehingga penjualan tanah tersebut harus atas dasar persetujuan suami/istri dengan penandatanganan surat persetujuan khusus, atau turut menandatangani AJB. Apabila suami atau istri sudah meninggal, dapat dilakukan dengan melampirkan surat keterangan kematian dari kantor kelurahan.

Kelima, penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh) dan pembeli harus membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut Pajak Penjual (PPh) = Harga Jual x 2,5 %, Pajak Pembeli (BPHTB) = {Harga Jual – Nilai Tidak Kena Pajak} x 5%, Pembeli dan Penjual kemudian juga membayar pembuatan AJB di PPAT yang pada umumnya akan ditanggung bersama atau jika kedua belah pihak bersepakat ditanggung oleh salah satu pihak yang nilainya maksimal 1% dari harga transaksi tanah.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda