Beranda / Berita / Aceh / Kasus Kekerasan Seksual di Bener Meriah, Ini Kata Ayu Ningsih

Kasus Kekerasan Seksual di Bener Meriah, Ini Kata Ayu Ningsih

Senin, 23 Mei 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Mantan Komisioner KPPAA dan Dosen Fisipol USK, Ayu Ningsih, S.H, MKn. [Foto: For Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Aceh masih saja terjadi dan meninggalkan isak pilu yang menyisakkan hati.

Baru-baru ini Delapan pria di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, ditangkap polisi atas tindakan pemerkosaan terhadap dua anak di bawah umur secara bergilir selama tiga hari.

Pelaku melancarkan aksi bejatnya di sebuah gudang durian di salah satu kecamatan di Kabupaten Bener Meriah.

Mantan Komisioner KPPAA, Ayu Ningsih mengatakan, lagi-lagi kasus kekerasan seksual terjadi di Aceh, yang membuat kita semakin prihatin terhadap masa depan generasi mendatang.

“Ironisnya lagi kasus yang terjadi di Bener Meriah ini seolah-olah sudah direncanakan sebelumnya, karena itu saya menghimbau kepada seluruh masyarakat agar senantiasa meningkatkan pengasuhan terhadap anak, memantau tumbuh kembang anak dan membangun komunikasi yang lebih intens lagi dengan anak,” sebutnya kepada Dialeksis.com, Senin (23/5/2022).

Lanjutnya, kata Ayu Ningsih yang juga Dosen Fisipol USK, ada beberapa pola asuh orangtua yang mulai bergeser saat ini dikarenakan orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sibuk dengan teknologi dan medsos.

“Sehingga kurang peka terhadap tumbuh kembang anaknya, atau mungkin masih ada orangtua yang belum tahu akan dampak negative yang ditimbulkan oleh gadget dan teknologi yang diberikan kepada anak-anak, sehingga mereka lupa mengawasi penggunaan gadget dan teknologi pada anak-anaknya,” ujarnya.

Padahal menurutnya, peranan orang tua sangat penting dalam mendampingi dan mengawasi penggunaan gadget dan teknologi pada anak yang semakin canggih.

“Apalagi teknologi yang beragam jenisnya saat ini sangat mudah didapatkan, terutama akses internet gratis sangatlah gampang diakses hanya dengan modal “secangkir kopi pancung” dapat mengakses internet tanpa batasan waktu,” kata Ayu Ningsih.

Saat ini kata Ayu, sangat dibutuhkan langkah-langkah strategis dalam melindungi dan merawat generasi muda bangsa dari perilaku kekerasan dan dampak negatif globalisasi dan digitalisasi liberal, karena meluasnya kasus kekerasan seksual pada anak tidak terlepas dari dampak digitalisasi yang kebablasan dalam memanfaatkan teknologi digital dan menimbulkan krisis moral sosial secara masif.

Oleh karena itu sangat penting juga untuk membangun sistem kontrol sosial dalam masyarakat, karena maasa depan Bangsa menjadi tanggung jawab bersama, Negara harus tegas menyatakan perang terhadap segala jenis ancaman moral yang merusak mental, terutama kekerasan seksual terhadap anak.

“Dalam konteks ini, fungsi penegak hukum dan lembaga perlindungan Anak harus diperkuat. Terutama tim cyber crime dan kementerian informasi dan komunikasi RI dalam mengontrol aplikasi dan konten-konten yang cenderung terindikasi pornografi dan pornoaksi,” sebutnya.

Selain itu kekerasan seksual terhadap anak sangat penting untuk dicegah oleh pemerintah dan instansi terkait dengan melibatkan berbagai pihak seperti orangtua/keluarga, masyarakat, sekolah/guru, perguruan tinggi, ulama dan lain-lain karena perlindungan anak menjadi tanggungjawab bersama. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual dan pemerkosaan pada anak, antara lain:

1. Mengajarkan anak tentang anggota tubuhnya, (bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, termasuk orangtuanya sendiri)

2. Mengajarkan anak apa yang harus dilakukan jika ada orang yang ingin menyentuhnya

3. Mengajarkan anak untuk mewaspadai orang yang tidak dikenal, termasuk orang yang dikenal yang gerak geriknya mencurigakan

4. Orangtua selalu memantau anak saat anak bermain atau melakukan aktivitas di luar rumah dan mengenal lingkungan bermain anak dan teman-temannya

5. Menjalin komunikasi dan keterbukaan dengan anak (intens mengajak anak untuk berkomunikasi)

6. Senantiasa memantau tumbuh kembang dan perilaku anak

7. Mengajarkan anak-anak untuk menghindari tempat-tempat sepi

8. Dan lain-lain

 

Menurutnya, Qanun Hukum Jinayat Aceh belum menyentuh pada aspek perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Qanun hukum Jinayat Aceh juga belum optimal dalam hal mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, belum memberikan perlindungan kepada anak yang menjadi korban, belum memberikan pemulihan bagi korban kekerasan seksual dan belum memberikan efek jera kepada pelaku. Apalagi dalam qanun jinayat tersebut belum mengatur tentang restitusi dan rehabilitasi bagi korban kekerasan seksual.

“Oleh karena itu saya berharap dengan disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi salah satu referensi bagi revisi Qanun hukum Jinayat Aceh yang merujuk pada paradigma hukum pidana modern yang berlaku universal, tak lagi beroritentasi pada pembalasan tetapi pada keadilan kolektif (menghukum pelaku), keadilan restorative (menekankan pada pemulihan korban) dan keadilan rehabilitative yang ditujukan kepada pelaku dan korban,” pungkasnya. [ftr]


Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda