Beranda / Berita / Aceh / Kasus Kekerasan di Pesantren, Psikolog Tekankan Pelatihan Guru Soal Hak Asasi Siswa

Kasus Kekerasan di Pesantren, Psikolog Tekankan Pelatihan Guru Soal Hak Asasi Siswa

Jum`at, 04 Oktober 2024 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Psikolog Iyulen Pebry Zuanny, S.Psi., M.Psi. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebuah kejadian tragis yang mengguncang Desa Pante Ceureuman, Aceh Barat, menimbulkan kecaman luas dari masyarakat. 

Seorang santri berusia 15 tahun mengalami penyiksaan di sebuah pondok pesantren oleh NN (40), pimpinan pesantren tersebut. 

Korban disiram air cabai oleh NN sebagai bentuk hukuman atas kesalahan yang diduga dilakukan oleh santri tersebut. 

Tindakan kejam ini tidak hanya mencoreng citra dunia pendidikan agama, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai dampak psikologis terhadap korban, khususnya anak-anak yang terlibat dalam insiden kekerasan semacam ini.

Psikolog Iyulen Pebry Zuanny, S.Psi., M.Psi., ketika dimintai tanggapannya mengenai kasus ini, menjelaskan bahwa tindakan kekerasan seperti yang dialami korban dapat menimbulkan trauma yang mendalam, terutama mengingat usia anak yang masih dalam masa perkembangan psikologis.

"Terkait kondisi penyiraman terhadap anak pesantren, kemungkinan besar anak tersebut bisa mengalami trauma. Namun, untuk memastikan lebih lanjut, diperlukan asesmen atau pemeriksaan psikologis secara mendalam. Setiap individu merespons kejadian traumatis secara berbeda, tergantung banyak faktor seperti latar belakang keluarga, lingkungan, dan pengalaman sebelumnya," jelas Iyulen kepada Dialeksis.com, Jumat (4/10/2024).

Trauma psikologis, menurut Iyulen, dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari gangguan tidur, kecemasan, hingga kesulitan berinteraksi sosial. 

Selain itu, trauma yang tidak diatasi dengan baik bisa mempengaruhi pandangan korban terhadap lingkungan, dalam hal ini pesantren, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar agama. 

"Anak-anak yang mengalami trauma akibat kekerasan di pesantren bisa mengasosiasikan lingkungan pesantren dengan rasa takut, sehingga mempengaruhi keinginan mereka untuk terus menempuh pendidikan di sana," tambahnya.

Untuk membantu korban pulih dari trauma, Iyulen menekankan pentingnya langkah-langkah pemulihan yang tepat. 

“Yang paling utama adalah melakukan pemeriksaan psikologis terhadap kondisi anak untuk mengetahui sejauh mana dampak kejadian ini terhadap kesehatan mentalnya,” kata Iyulen. 

Pemeriksaan ini akan membantu menentukan apakah korban membutuhkan perawatan lebih lanjut seperti konseling atau psikoterapi.

Iyulen juga menekankan pentingnya peran keluarga dalam mendampingi korban. 

“Dukungan emosional dari keluarga atau orang terdekat sangat diperlukan. Mereka harus memberikan rasa aman dan kasih sayang yang konstan untuk membantu korban memproses trauma yang dialaminya,” jelasnya. 

Trauma yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma (PTSD), yang mempengaruhi kehidupan anak di masa depan.

Selain fokus pada pemulihan korban, Iyulen juga menyoroti pentingnya perbaikan sistem di pesantren. 

“Pihak pesantren, terutama para guru, perlu mendapatkan pelatihan terkait keterampilan mendidik yang mengacu pada hak asasi siswa. Penting untuk memastikan bahwa disiplin yang diterapkan tidak bersifat abusif atau melanggar hak-hak anak,” kata Iyulen.

Dalam konteks ini, pesantren diharapkan tidak hanya menjadi tempat untuk menanamkan pendidikan agama, tetapi juga membangun karakter positif dengan pendekatan yang manusiawi.

“Aturan di pesantren harus dievaluasi kembali agar tidak ada lagi tindakan kekerasan yang membahayakan siswa. Setiap hukuman atau disiplin harus dilakukan dengan cara yang mendidik, bukan merusak,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI