Beranda / Berita / Aceh / Kasus Aniaya Tahanan Hingga Tewas, LBH Banda Aceh Siap Dampingi Keluarga Korban

Kasus Aniaya Tahanan Hingga Tewas, LBH Banda Aceh Siap Dampingi Keluarga Korban

Senin, 06 Desember 2021 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul. [Foto: IST] 

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Saat ini, Aceh digegerkan dengan kasus dugaan penganiayaan tahanan hingga tewas yang dilakukan oleh oknum polisi di Bener Meriah.

Bahkan sebelumnya, di Aceh Timur juga terjadi hal serupa, tahanan dianiaya hingga tewas dan mayatnya sempat dibuang ke sungai untuk menghilangkan jejak. Pelaku penganiayaan tahanan ini sudah dihukum 8 tahun penjara. 

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul menyebutkan tidakan tersebut masuk kedalam extra judicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum/putusan pengadilan yang dilakukan aparat kepolisian. 

Hal itu, dianggap melanggar HAM karena memutus hak seseorang untuk mendapat proses hukum secara adil.

"Padahal seharusnya, setelah aparat keamanan ambil pelaku itu harusnya lebih aman. Itu logika hukumnya lebih aman dan terlindungi," ucapnya kepada Dialeksis.com, Senin (6/12/2021).

Syahrul mengatakan, peristiwa itu telah membuktikan bahwa instrumen HAM yang telah dibuat oleh Kapolri itu sama sekali tidak berlaku/berguna.

"Kalau tidak salah Kapolri pernah mengeluarkan Peraturan Kapolri tentang penegakan hukum yang berperspektif HAM, dan ini sama sekali tidak berlaku," sebutnya.

Syahrul berharap, reformasi institusi kepolisian itu harus benar-benar diwujudkan. Menurutnya, jika kejadian demikian masih terjadi maka wacana reformasi institusi kepolisian itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan apapun. Karena kekerasan dalam upaya penegakan hukum itu terus terjadi dimana-mana.

Syahrul menceritakan, peristiwa yang terjadi di Sulawesi beberapa waktu lalu, oknum polisi menggunakan ekor pari dalam memeriksa pelaku hingga meninggal juga.

Sama halnya dengan peristiwa di Bener Meriah, ini harus dilihat bukan dari sisi oknum tapi karena dalam upaya penegakan hukum dalam kategori tugas itu harus dilihat dari institusi yang melakukan. Karena kelalaian pimpinan dalam mengawasi bawahannya dalam melaksanakan tugas itu harus dianggap kesalahan institusi bukan kesalahan pribadi/penyidik.

"Mereka sudah punya pelatihan, mekanisme pengawasan, pengujian psikologis, dan kita menganggap ini sudah selesai atau apakah ujian-ujian itu hanya formalitas, sehingga kejadian demikian tetap terjadi," terangnya.

Hal itu, kata dia, menjadi tanda tanya publik, untuk apa anggaran publik yang digunakan setiap tahun utnuk pendidikan, upgrade skill dalam menggali informasi dari terdakwa. Itu tidak ada gunanya, jika tidak serius ditangani oleh Kapolri, Kapolda, Kapolres, Kapolsek maka kejadian itu akan terus berulang.

Syahrul membeberkan, kejadian penganiayaan tahanan hingga tewas itu bukanlah kematian pertama yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam konsep penegakan hukum.

"Terkadang, hukum pidana kita sebenarnya tidak berpikir terhadap pemulihan korban. Jika kematian ini kemudian korban itu meninggalkan anak, istri dan jika anaknya masih dalam tahap pendidikan negara/Kapolri wajib bertanggung jawab," katanya.

Namun, selama ini tanggungjawab itu tidak direalisasikan, siapa yang akan menjamin keberlangsungan hidup keluarga korban akibat kematian karena kelalaian dalam penegakan hukum.

"Kriminal yang terjadi dalam konsep penegakan hukum itu harus dianggap pelanggaran HAM, maka ada kewajiban pemulihan yang harus dilakukan terhadap korban, itu namanya reparasi, ini harus terwujud," tegasnya lagi.

Ia menambahkan, kejadian demikian hanya dianggap sebuah kematian biasa. Kemudian pelaku cukup sekadar dihukum atau dipindahkan atau dicopot bajunya.

Dalam hal ini, LBH Banda Aceh sedang mencari kontak keluarga korban jika diperlukan pendampingan, maka LBH Banda Aceh siap melakukan pendampingan terhadap korban.


Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda