Rabu, 05 November 2025
Beranda / Berita / Aceh / Kasus Akun Tiktok Tersadarkan Hina Islam Jadi Momentum Bangun Literasi Digital Islami

Kasus Akun Tiktok Tersadarkan Hina Islam Jadi Momentum Bangun Literasi Digital Islami

Selasa, 04 November 2025 23:50 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Perwakilan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Provinsi Aceh, Muhammad Ramadhanur Halim di Aula Kantor Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) Aceh, Banda Aceh, Selasa (4/11/2025). Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Perwakilan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Provinsi Aceh, Muhammad Ramadhanur Halim, mengatakan pentingnya literasi digital beradab sebagai benteng aqidah di tengah maraknya konten provokatif di ruang siber. 

Pernyataan ini disampaikan menyusul kasus akun TikTok @tersadarkan5758 milik Dedi Saputra, yang menuai kecaman publik karena diduga menghina Islam dan masyarakat Aceh.

Menurut Ramadhanur, kasus ini bukan sekadar pelanggaran etika media sosial, tetapi menyentuh jantung identitas dan keyakinan umat. 

"Kita hidup di era di mana ruang digital telah menjadi medan baru bagi ekspresi keagamaan, pertarungan ideologi, dan sayangnya, juga provokasi terhadap nilai-nilai suci umat,” ujarnya di Aula Kantor Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) Aceh, Banda Aceh, Selasa (4/11/2025).

Ia menilai, respons masyarakat terhadap fenomena semacam ini tidak boleh berhenti pada kemarahan atau tindakan hukum semata. 

“Kita tidak bisa menjawab tantangan ini hanya dengan pelaporan reaktif. Kita perlu pendekatan berbasis teori, nilai, dan pendidikan publik. Di sinilah literasi digital beradab menjadi penting,” kata Ramadhanur.

Ramadhanur mengutip teori literasi media yang dikembangkan Renee Hobbs, yang menekankan kemampuan masyarakat dalam mengakses, menganalisis, dan menciptakan pesan secara kritis. 

“Generasi muda harus kita arahkan untuk tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga produsen narasi yang bermartabat,” ujarnya.

Ia juga merujuk pada pandangan Richard Johannesen dalam teori etika komunikasi, yang menegaskan pentingnya tanggung jawab moral di setiap ekspresi publik. “Konten yang menghina agama bukanlah kebebasan berekspresi, melainkan bentuk kekerasan simbolik yang merusak kohesi sosial,” tegasnya.

Dalam konteks dakwah, lanjutnya, prinsip komunikasi yang santun dan penuh hikmah sudah jelas tertulis dalam QS. An-Nahl ayat 125: 

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, ajaran ini sejalan dengan teori komunikasi persuasif dari Aristoteles, bahwa dakwah yang efektif harus menyentuh tiga aspek, akal (logos), hati (pathos), dan karakter (ethos)," ujarnya. 

GP Ansor Aceh memandang menjaga agama di era digital bukan hanya soal membalas hinaan, tetapi soal membangun peradaban. Ini harus aktif di ruang digital, bukan dengan kebencian, tetapi dengan konten yang mencerahkan.

Ramadhanur juga mengingatkan bahaya sikap pasif terhadap derasnya arus informasi. Ia mengutip teori spiral keheningan dari Elisabeth Noelle-Neumann, yang menyebut bahwa suara destruktif akan mendominasi bila masyarakat yang berakal memilih diam.

“Kalau kita tidak bersuara, maka ruang digital akan dikuasai oleh narasi yang menyesatkan. Karena itu, kita harus bersuara dengan santun, dengan ilmu, dan dengan kasih sayang,” ujarnya.

Ia menilai, Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam memiliki tanggung jawab moral dan sosial yang lebih besar dalam menjaga ekosistem digital yang sehat. 

"Pemerintah, ormas Islam, dan media harus bersinergi membangun ekosistem digital yang edukatif. Literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum di pesantren, madrasah, dan sekolah umum,” tuturnya.

Ramadhanur menilai, kasus akun TERSADARKAN harus menjadi momentum refleksi bersama. Ia mendorong media lokal untuk berperan aktif dalam membangun narasi keislaman yang ramah dan rasional.

“Kita perlu bertanya: mengapa konten seperti ini bisa viral? Apa yang kurang dari narasi keislaman kita sendiri? Bagaimana kita bisa menjangkau mereka yang tersesat, bukan dengan amarah, tapi dengan pencerahan?” ujarnya.

Sebagai sikap resmi, GP Ansor Aceh mengecam keras konten yang menghina Islam dan Aceh. Mendukung langkah hukum yang profesional dan terukur. Menolak respons yang reaktif dan penuh kebencian.

Selain itu, mendorong edukasi publik melalui literasi digital beradab. Mengajak sinergi antar elemen umat untuk membangun narasi alternatif. Menjadikan kasus ini sebagai momentum refleksi dan perbaikan sistemik.

“Mari kita jaga agama bukan hanya dengan laporan hukum, tetapi juga dengan konten yang menyentuh hati, membangun akal, dan menghidupkan jiwa. Literasi digital beradab adalah benteng aqidah kita di era ini," tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI