DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam dunia digital yang kian terbuka, batas antara kebebasan berekspresi dan penistaan agama menjadi semakin kabur.
Baru-baru ini, GP Ansor Banda Aceh menyerukan agar Polda Aceh menindak tegas pelaku penistaan agama Islam di platform TikTok. Seruan tersebut menjadi cerminan keresahan publik terhadap konten digital yang dinilai melampaui batas etika keagamaan.
Menanggapi hal ini, Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I., Kader GP Ansor Provinsi Aceh, menilai bahwa langkah GP Ansor Banda Aceh bukan sekadar bentuk reaksi emosional, melainkan tanggung jawab sosial dan keagamaan dalam menjaga marwah Islam di ruang publik.
Menurutnya, kasus seperti ini perlu dipahami melalui pendekatan istinbath metode penggalian hukum Islam yang tidak hanya berpegang pada teks, tetapi juga pada nilai dan tujuan syariat.
“Pendekatan istinbath penting untuk memahami persoalan ini secara utuh. Dalam tradisi ushul fiqh, kita tidak hanya melihat pada nash, tetapi juga mempertimbangkan maqashid al-shariah (tujuan syariat), qiyas (analogi), dan ‘urf (kebiasaan lokal),” ujar Ramadhanur Halim kepada media dialeksis.com Jumat (10/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa dari sisi nash, Al-Qur’an secara tegas melarang penghinaan terhadap agama, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 57 dan Al-An’am ayat 108.
Larangan ini, kata dia, bukan hanya untuk menjaga simbol-simbol agama, tetapi juga melindungi kehormatan umat beriman dari potensi gesekan sosial.
“Konten yang secara terang-terangan melecehkan ajaran Islam melanggar prinsip adab dan akhlak Islami. Dalam pandangan syariat, tindakan seperti itu termasuk bentuk pelanggaran moral yang serius,” tambahnya.
Dari perspektif maqashid al-shariah, lanjut Ramadhanur, menjaga agama (hifz al-din) merupakan salah satu tujuan utama hukum Islam.
Karena itu, tindakan preventif maupun kuratif terhadap penistaan agama adalah keharusan moral dan sosial. Namun, ia mengingatkan agar respons terhadap kasus semacam ini tidak berlebihan.
“Kita wajib menjaga kehormatan agama, tapi harus dilakukan secara proporsional. Jangan sampai semangat menjaga agama berubah menjadi tindakan di luar hukum atau main hakim sendiri,” tegasnya.
Dalam konteks Aceh, yang memiliki keistimewaan penerapan syariat Islam, Ramadhanur menilai bahwa sensitivitas masyarakat terhadap isu agama memang lebih tinggi. Menurutnya, reaksi GP Ansor dapat dilihat sebagai bagian dari mekanisme sosial untuk menjaga nilai-nilai lokal dan identitas hukum yang telah lama menjadi ciri khas Aceh.
“‘Urf Aceh menempatkan agama di posisi yang sangat mulia. Maka, menjaga marwah Islam juga berarti menjaga identitas budaya Aceh itu sendiri. Namun, tetap harus dalam bingkai kemaslahatan dan prinsip keadilan,” jelasnya.
Selain dari sisi syariat, ia juga menyinggung pentingnya sinergi antara hukum Islam dan hukum positif Indonesia.
Negara, kata Ramadhanur, melalui Pasal 156a KUHP telah menetapkan larangan terhadap penodaan agama.
Namun penerapannya harus bijak, agar tidak menimbulkan ketegangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap keyakinan.
“Hukum tidak boleh dipakai secara emosional. Harus ada keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan. Di sinilah pendekatan istinbath menjadi jembatan antara syariat, hukum negara, dan etika publik,” ujarnya.
Lebih jauh, Ramadhanur menilai bahwa menjaga agama di era digital tidak bisa hanya mengandalkan sanksi hukum. Pendidikan moral, literasi digital, dan dakwah yang menyejukkan menjadi bagian penting dari solusi jangka panjang.
“Menangkap pelaku mungkin menyelesaikan satu kasus, tapi membangun kesadaran umat menyelesaikan banyak kasus di masa depan. Kita harus memperkuat literasi digital yang beradab agar media sosial menjadi ladang dakwah, bukan arena penghinaan,” katanya.
Menutup pandangannya, Ramadhanur menegaskan bahwa menjaga marwah agama adalah tanggung jawab kolektif antara negara, ulama, dan masyarakat sipil.
“Menjaga agama bukan sekadar menindak pelaku, tapi membangun sistem nilai yang mampu mencegah penistaan bahkan sebelum muncul di pikiran. Itulah bentuk nyata dari hifz al-din di era digital,” pungkasnya. [nh]