JRS: Aksi Tolak Rohingya Akibat Penyebaran Narasi Kebencian di Medsos
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Diskusi publik secara daring bertajuk “Mencari Solusi Persoalan Pengungsi Rohingya di Indonesia. Dokumen Tangkapan layar.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Senior Legal Services Officer Jesuit Refugee Service (JRS), Gading Gumilang Putra mengatakan narasi sistematis mengenai penolakan, kebencian, dan hoax di medsos menjadi isu nasional. Sehingga di lapangan, kapal yang berlabuh tidak mendapatkan respon yang biasanya terjadi secara ad hoc maupun secara Perpres.
Hal ini disampaikan oleh Gading dalam diskusi publik secara daring bertajuk “Mencari Solusi Persoalan Pengungsi Rohingya di Indonesia” yang dilansir media dialeksis.com, Jumat (22/12/2023).
Gading menjelaskan kondisi terkini para pengungsi Rohingya di Aceh.
Ia memaparkan situasi Rohingya terkini di Aceh dalam perspektif lembaga kemanusiaan. Dikatakannya, tren kenaikan jumlah pengungsi yang lebih intens ini karena kondisi memburuk di Bangladesh.
Sejauh ini di lapangan, polisi terlibat secara intens untuk pengamanan di kamp-kamp penampungan. Aparat bersama warga semangat menolong dan mengamankan.
Di tengah situasi tersebut, lanjut Gading, lembaga kemanusiaan masih melihat warga yang memberikan bantuan makan dan pakaian, meskipun ada juga ketakutan saat menolong.
Di sisi lain, Gading tak menampik jika memang ada isu mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dikatakannya TPPO memang perlu penindakan, sayangnya smuggler trafficker (penyelundupan) menjadi opsi mengungsi karena tidak ada jalur aman dan legal.
Gading pun menyebutkan bahwa para pengungsi adalah korban, bukan pelaku. “Karena narasi negatif yang beredar di media sosial, demonstrasi dan penghadangan terjadi. Beberapa pengungsi tertahan di pantai dan ada yang dibawa dari satu daerah ke daerah lain. Pemberitaan di media sosial berdampak langsung bagi lembaga kemanusiaan dan pengungsi, serta kepada warga menjadi terpecah belah karena hoax,” jelasnya.
Gading menerangkan mengenai alasan Etnis Rohingya mengungsi. Dikatakannya, kelompok etnis muslim dari Myanmar itu tidak bisa pulang karena mengalami persekusi selama puluhan tahun.
Menurutnya, Etnis Rohingya menjadi populasi tanpa warga negara terbesar di dunia. Sejak 1977-1978, mereka telah kehilangan kewarganegaraan. Sementara pada tahun 1979 sempat ada repatriasi dari Bangladesh. Kemudian pada 1982 ada konstitusi yang membuat mereka tidak memiliki status warga negara Myanmar.
"Kerja paksa, pemindahan paksa, pemerkosaan, dan berbagai penjajahan etnis membuat Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Namun karena tidak ada kejelasan dan sanitasi yang buruk, maka di Bangladesh-pun ditolak di kamp-kamp pengungsi," pungkasnya.