Beranda / Berita / Aceh / JPPI: Masyarakat Bergerak Kawal Kualitas Pendidikan

JPPI: Masyarakat Bergerak Kawal Kualitas Pendidikan

Senin, 23 April 2018 15:02 WIB

Font: Ukuran: - +


Foto: Antara

Dialeksis.com, Jakarta - Mutu pendidikan di sekolah adalah tanggung jawab bersama. Kini, tak boleh lagi ditumpukan semata-mata kepada pihak pemerintah atau sekolah. Bila pemerintah atau sekolah tidak diawasi oleh masyarakat, mereka akan gelap mata. Kasus semacam ini sudah sering terjadi. Misalnya, korupsi dana pendidikan, pungutan liar, kekerasan di sekolah, fasilitas yang minim, kualitas guru yang rendah dan lain sebagainya. Ini semua terjadi di sekolah. Perkara ini jika didiamkan, akan memperburuk kualitas pendidikan di Indonesia.

Menurut pantauan JPPI, kesadaran masyarakat masih sangat rendah. Lemahnya kesadaran masyarakat ini diperburuk oleh mandulnya peran komite sekolah.  Keberadaan Permendikbud 75 tahun 2016 tidak membawa dampak apa-apa terhadap komite sekolah. Harusnya komite sekolah punya peran sentral dalam mengawal kebijakan dan kualitas Pendidikan di sekolah. Nyatanya, 85% peran komite sekolah tak lebih sebagai stempel kepala sekolah. Ini memperburuk mutu pembelajaran dan pendidikan di sekolah.

World Development Report 2018 yang dikeluarkan World Bank membahas khusus tentang pendidikan. Indonesia tertinggal 45 tahun dan 75 tahun di bidang sains dibandingkan negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Yang menarik dari Laporan World Development Report 2018 adalah laporan ini tidak hanya berbicara tentang school (kelembagaan) tetapi menukik lebih dalam mengenai hal yang lebih substansial yaitu learning (belajar). Bahkan di beberapa hasil riset lain soal kualitas pendidikan, Indonesia posisinya berada di bawah Philipina, Vietnam, bahkan Ethiopia. Ini kenyataan yang memprihatinkan.

Salah satu yang juga menjadi sorotan lemahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah pembelajaran di sekolah inklusi. Banyak anak-anak usia sekolah yang masuk kategori kelompok rentan yang masih tereksklusi dan tidak dapat menikmati bangku sekolah. Misalnya, anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) sering kali mendapat perlakuan yang diskriminatif. Berdasarkan data Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Tahun 2015 bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 1,6 juta orang, dan baru 164 ribu ABK yang mendapat layanan pendidikan. Artinya, pemerintah baru mengakomodir sekitar 10-11 persen saja. Kelompok rentan dalam Pendidikan sebenarnya tidaknya hanya ABK. Keberadaan anak dengan latar belakang ekonomi miskin, anak gelandangan dan pengemis, anak pengungsi, bahkan anak pengidap HIV/AIDS juga termasuk dalam kategori kelompok rentan dalam pendidikan.

Karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, JPPI mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengawal kualitas pendidikan di Indonesia. Ada tiga aspek yang akan menjadi bagian dari proses monitoring yang akan dilakukan oleh masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan inklusif di Indonesia: aspek hardware, software, dan brainware.

1. aspek hardware berkaitan dengan gedung, sarana prasarana, dan fasilitas pendukung lain. Aspek ini haruslah mengacu pada inklusi tadi, bagaimana ketercakupan dalam satu gedung mampu memfasilitasi semua kebutuhan peserta didik yang heterogen.

2. aspek software, yaitu meliputi tatakelola guru dan manajemen sekolah, kurikulum, silabus, dan perangkat penunjang yang lain. Manajemen harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Kurikulum yang digunakan pada sekolah adalah kurikulum yang disesuaikan atau dimodifikasi sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa.

3. aspek brainware, yaitu meliputi tenaga kependidikan, peserta didik, staf ahli, psikolog, dan staf pendukung lainnya. (rel)

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda