Jelang Rapat Finalisasi, Spanduk Tolak Revisi UUPA Berkibar Depan Gedung DPRA
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjelang dilaksanakannya rapat finalisasi tim perumus revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 di gedung DPRA, Rabu (12/4/2023), spanduk penolakan revisi UUPA terlihat kembali berkibar di pagar kantor legislatif Aceh itu.
Dalam rapat bersama dalam rangka finalisasi draft tentang perubahan UUPA yang diundang langsung oleh Ketua DPRA Saiful Bahri itu melibatkan tim tenaga ahli advokasi UUPA DPRA, tim penyusun perubahan naskah akademik UUPA dari USK, Pemerintah Aceh dan tim penyusun rancangan perubahan UUPA serta Tim Pembinaan Pelaksanaan MoU Helsinki lembaga Wali Nanggroe.
Rapat tersebut dijadwalkan berlangsung di ruang serba guna DPRA, Rabu (12/4/2023) pukul 14.00 Wib s/d selesai.
"Tuntutan, Tolak Draf Revisi UUPA Karena Berpotensi Memalukan dan Merugikan Aceh!!" tulis DPD ALAMP Aksi dalam spanduknya yang terpajang di depan gedung DPRA.
Sebelumnya ketika sempat melakukan demontrasi ke gedung DPRA, Selasa (4/4/2023) lalu, koordinator aksi Musda Yusuf mengatakan, penolakan ini dilakukan karena selama ini pembahasan revisi UUPA sangat tertutup kepada masyarakat Aceh.
"Bahkan revisi UUPA tersebut berpeluang mempermalukan Aceh di tataran nasional karena pasal-pasal usulan perubahan dari DPRA yang tidak rasional," kata Musda Yusuf dalam siaran persnya.
"Sungguh miris rasanya ketika alokasi anggaran yang kabarnya mencapai Rp8,4 miliar, diplotkan untuk sosialisasi revisi UUPA, namun sosialisasinya seperti asal ada dan cenderung tertutup untuk DPRK dan kelompok tertentu saja," ujarnya.
Dalam orasinya, Musda menyebutkan, beberapa pasal yang dinilainya tidak logis.
"Pada Pasal 3 revisi UUPA disebutkan batas Aceh sesuai peta 1 Juli 1956, sementara petanya sampai detik ini, bahkan di berbagai institusi tak ada referensinya. Ini namanya seperti mengarang aturan tanpa landasan kongkret," sebutnya.
Ia juga menyebut, draf revisi UUPA juga menghapus posisi imum mukim, imum chik, keuchik, tuha peut, tuha lapan, dan imum meunasah dari struktur lembaga adat sebagaimana bunyi Pasal 98 ayat (3).
"Jika revisi UUPA hanya untuk mengobrak abrik sesuatu yang sudah berjalan dalam struktur pemerintahan, ini seperti membuat UUPA semakin rancu. Kami juga mengecam rencana DPRA menghilangkan fungsi pemerintah adat seperti mukim, tuha peut, imum mukim, tuha lapan, dan sebagainya. Jangan otak atik lembaga adat hanya untuk nafsu merevisi UUPA," tegasnya.
ALAMP Aksi juga tidak sependapat draf Pasal 80 yang menyebut parlok (partai lokal) bisa mengajukan anggota DPR RI, bahkan mengusulkan PAW DPR RI. "Apakah masih disebut parlok kalau cakupannya hingga nasional,” tukas dia.
Selain itu, hal yang sangat janggal ketika pasal terkait bendera dan lambang Aceh tidak lagi harus mengacu pada perundang-undangan. Hal ini berpotensi memaksakan agar bendera sesuai keinginan DPRA berkibar, jika suatu hari fans panatik klub bola Barca atau Madrid, maka bisa saja terjadi bendera Aceh akan merujuk pada bendera klub itu pula.
“Sungguh jika pasal-pasal perubahan yang janggal-janggal ini diusul ke pusat malah bakal menjadi lelucon dan berpeluang mempermalukan Aceh secara nasional, apakah DPRA tak memikirkan hal itu?" tandasnya.
Menurut Musda, sejauh ini keberadaan UUPA sudah lumayan kuat untuk Aceh, tinggal lagi bagaimana turunannya direalisasikan maksimal.
Pendemo juga mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab apabila dengan dilakukan revisi UUPA justru pasal-pasal UUPA yang sudah ada jadi hilang.
"Ayo dong berpikir logis, jangan berangan-angan yang aneh-aneh. Jumlah DPR RI dari Aceh itu hanya 13 orang dari 580 orang total kursi DPR RI. Apa cukup untuk mempertahankan UUPA?" kritiknya.
"Mengubah undang-undang itu tidak mudah, jangan sampai kekhususan yang sudah ada justru hilang karena ingin kewenangan DPRA ditambah," jelasnya.
"Jangan sampai gegara melihat hujan mau turun, air di tempayan dibuang, jangan karena ambisi punya kekuasaan dan kewenangan sangat besar, DPRA justru mengorbankan kekhususan Aceh yang sudah diberikan," pungkasnya. [*]