Senin, 11 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Jangkar Kopi, Tempat Para Penyintas TPPO Menambatkan Harapan

Jangkar Kopi, Tempat Para Penyintas TPPO Menambatkan Harapan

Senin, 11 Agustus 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Jangkar Kopi, sebuah warung kopi yang berada di Kajhu, Aceh Besar. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jangkar Kopi, sebuah warung kopi yang berada di Kajhu, Aceh Besar. Ini merupakan unit usaha yang didirikan oleh Lembaga Sumatera Environmental Initiative (SEI) pada November 2024 yang didukung oleh IOM melalui program reintegrasi untuk korban TPPO.

Namun ini bukan sekadar warung kopi biasa. Di sinilah para mantan Anak Buah Kapal (ABK) korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menemukan tempat berlabuh setelah bertahun-tahun terombang-ambing di gelombang eksploitasi.

Mereka pernah bekerja di kapal asing, dipaksa bekerja tanpa upah layak, diperlakukan layaknya budak modern. Ironisnya, meski laporan telah disampaikan, banyak kasus mereka kandas di meja aparat penegak hukum.

Crisna Akbar, Peneliti Kebijakan SEI, menyebut Jangkar Kopi lahir dari kebutuhan mendesak untuk memberikan napas panjang bagi advokasi para penyintas.

 “Unit usaha untuk kawan-kawan penyintas ini kami buat sebagai salah satu upaya memperpanjang nafas advokasi terkait kasus-kasus yang sedang kami dampingi. Mulai dari pelaporan di kepolisian, sampai prosesnya yang sudah berjalan kurang lebih dua tahun. Tempat ini juga menjadi ruang berkumpul bagi mereka,” ujarnya kepada wartawan dialeksis.com, Senin (11/8/2025).

Warung kopi ini bukan hanya tempat menjual minuman, tetapi juga ruang aman bagi para penyintas untuk saling berbagi pengalaman dan merumuskan kebutuhan bersama.

“Harapannya, dengan adanya wadah ini, teman-teman penyintas bisa berkumpul di satu tempat, memberikan pandangan yang sama terkait kebutuhan mereka. Untuk jangka panjang, usaha ini ingin kami jadikan ekonomi alternatif bagi para penyintas yang belum memiliki pekerjaan. Semua akses kami buka untuk penyintas yang membutuhkan pekerjaan, supaya bisa saling support,” lanjut Crisna.

Gagasan ini, kata Crisna, muncul dari realitas pahit dari egara belum hadir sepenuhnya untuk memberikan kepastian hukum dan dukungan ekonomi bagi korban TPPO, khususnya ABK.

"Hari ini, ketika kita bicara soal advokasi jangka panjang, pemerintah belum hadir memberikan kepastian hukum. Proses hukum terus berjalan, tapi kita tidak bisa pungkiri bahwa kebutuhan ekonomi adalah hal mutlak. Harapan kami, hal seperti ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah, apakah di Kementerian Tenaga Kerja atau Kementerian Sosial. Tapi sampai hari ini belum ada program yang menyasar ke sana,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti peran Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang seharusnya mulai memikirkan program pengembangan minat dan bakat bagi mantan pekerja migran, termasuk para ABK penyintas perdagangan orang.

“Ide-ide pengembangan ekonomi ini harusnya menjadi prioritas mereka, sehingga penyintas benar-benar mendapatkan kepastian ekonomi jangka panjang,” tegas Crisna.

Awalnya, Jangkar Kopi dibuka di kawasan Ateuk Pahlawan, Banda Aceh. Namun karena kendala operasional, lokasi warung dipindahkan agar pendapatan dan biaya bisa seimbang. Meski sederhana, setiap cangkir kopi yang disajikan di sini mengandung cerita perjuangan dan tekad untuk bangkit.

Di Jangkar Kopi, para penyintas tak hanya menemukan pekerjaan, tetapi juga solidaritas. "Di tengah lambatnya roda keadilan berputar, mereka memilih untuk menambatkan jangkar harapan di daratan yang mereka bangun sendiri dengan berbisnis," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI