kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / JANG-KO: Qanun Kampung Aceh Tengah Jangan Kembali Ke Orde Baru

JANG-KO: Qanun Kampung Aceh Tengah Jangan Kembali Ke Orde Baru

Senin, 16 Agustus 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

DIALEKSIS.COM| Takengon- Jaringan Anti Korupsi Gayo (JANG-KO) mendesak pihak eksekutif dan legeslatif untuk menunda pengesahan Raqan Pemerintahan Kampung. Jangan kembalikan pemerintahan kampung seperti pada masa orde baru.

Koordinator JANG-KO Aceh Tengah Saradi Wantona kepada media Minggu (15/8/2021) menjelaskan, draf Raqan pemerintahan kampung yang akan disahkan berpotensi mengembalikan kelembagaan pemerintahan kampung seperti dizaman orde baru.

“Peran Reje sebagai kepala pemerintahan desa akan dibatasi haknya sebagai pemerintahan yang otonom, sehingga bertentangan dengan prinsip berdemokrasi,”sebutnya.

“Kami melihat azas rekognisi, sebagai pengakuan terhadap hak asal-usul tidak termuat dalam draf. Demikian dengan azas subsidiaritas yang memuat kewenangan skala lokal dan pengambilan keputusan secara local yang yang diamahkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, tidak termuat dalam draf Qanun,” jelasnya.

Menurut Saradi, Bab Penyelenggara Pemerintahan Kampung pasal 32 Ayat 1-3 menyebutkan bahwa penamaan reeje kampung diubah menjadi Gecik. Perubahan ini tidak memiliki alasan yang kuat.

“Tanah Gayo memiliki sistem pemerintahan lokal yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Sarak opat yang kita kenal dengan sebutan reje, petue, imem dan rayat genap mupakat. Sarak opat ini jelas sudah diakui negara melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa,”jelas Saradi.

Menurutnya, seharusnya penamaan reje sebagai kepala pemerintahan sudah sangat tepat, tidak perlu dirubah. Sebab secara histori jelas eksistensinya serta melekat dalam kehidupan masyarakat Gayo dari dulu hingga sekarang.

“Yang perlu diperhatikan dan perbaiki adalah peran dan fungsi reje sebagai kepala pemerintahan saat ini.Peraturan dibuat seharusnya sesuai dengan perkembangan zaman. Penamaan reje sebagai kepala pemerintahan desa tetap relevan.Tugas legislatif bukan mengubah kelembagaan lokal itu, melainkan penataan kelembagaan desa, terutama sumber daya manusianya,“ pintanya.

Oleh karena itu sebut Saradi, rancangan draft qanun kampung yang memuat 18 BAB terdiri dari 228 pasal tersebut, belum sepenuhnya memuat asumsi sosiologis dengan melihat perkembangan pemerintahan dan masyarakat desa di Aceh Tengah.

“Berkemungkinan jika qanun ini disahkan akan membuat pemerintahan desa babak belur. Terutama peran dan fungsinya sebagai pemerintahan yang otonom dan karifan lokal yang dimiliki masyarakatnya” jelasnya.

JANG-KO berharap legeslatif yang membahas Qanun pemerintahan kampung ini membatalkanya. Organisasi ini mewakili masyarakat berharap peraturan itu dibuat jangan menurut selera, tetapi berdasarkan nalar dan asumsi yang logis.


Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda