Jang-Ko Desak Gubernur Lanjutkan Moratorium IUP
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM |Takengon- Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jang-Ko) mendesak Plt Gubernur Aceh tetap melanjutkan instruksi Gubernur (Ingub) tentang moratorium Izin Usaha Pertambangan IUP) mineral logam dan batubara.
"Kami mendesak Pemerintah Aceh, untuk melanjutkan moratorium, serta mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak clean dan clear, serta tidak mematuhi peraturan perundang-undangan," sebut Maharadi coordinator Jang-ko, Sabtu (6/4/2019) di Takengon.
Pihak Jang-ko mempertanyakan mengapa intruksi gubernur yang baru tentang moratorium tidak ditetapkan. Sementara moratorium IUP telah diberlakukan Pemerintah Aceh sejak Oktober 2014 hingga berakhir 5 Juni 2018.
"Ini yang menjadi pertanyaan kami, kenapa Plt Gubernur tidak melanjutkan moratorium izin usaha pertambangan. Komitmen Pemerintah Aceh sebelumya untuk mencegah serta penyelamatan hutan dan lingkungan sudah ada. Komitmen penyelamatan Aceh dari dampak penambangan mineral logam," sebut Maharadi.
Kalau hanya upaya melanjutkan investasi di sektor pertambangan, Pemerintah Aceh perlu mengkaji ulang. Karena wilayah tengah Aceh, warga Tanoh Gayo hidup dari perkebunan Kopi bukan tambang emas, jelasnya.
"Keberadaan tambang akan berdampak serius terhadap keberlangsungan kopi Gayo. Tambang berdampak serius terhadap lingkungan masyarakat Gayo dan berdampak terhadap nilai-nilai kearifan local," kata Maharadi.
Pemerintah Aceh tidak melanjutkan moratorium, sama dengan membiarkan para pihak investor masuk untuk mengeruk, dan dapat mengakibatkan konflik kembali di bumi Aceh. Pihak Jang-ko akan menolak apapun alasan Pemerintah Aceh, untuk melanjutkan investasi di sektor pertambangan.
Menurutnya, sejarah sudah mencatat hasil pertambangan yang dikeruk dari bumi tak sebanding dengan penderitaan rakyat. Akibat dampak negatif yang di timbulkan justru menjadi bencana.
Dalam tahapan eksplorasi saja, pihak perusahaan tambang yang ada di Tanoh Gayo belum memenuhi kewajiban membayar landrent sebagai pendapatan bagi negara. Semenjak dari Tahun 2013 sampai Tahun 2016 nilainya mencapai Rp 2,6 milyar, kata Maharadi. (Baga)