Ini Tanggapan Pemerintah Aceh Terhadap Tudingan KIP Aceh
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menanggapi keluhan KIP Aceh tentang kekurangan dana operasional dan beberapa kebutuhan lainnya, Pemerintah Aceh menegaskan hanya dapat membantu pada beberapa kegiatan tertentu saja. Pasalnya, ada pembatasan bagi pemerintah daerah untuk membantu KIP Aceh yang telah di atur dalam UU No 7 Tahun 2017.
Demikian tanggapan Pemerintah Aceh mengenai keluhan KIP Aceh yang mengeluhkan kekurangan dana operasional dan beberapa kebutuhan lainnya dalam penyelenggaraan pemilu 2019 di Aceh.
"Ada perbedaan persepsi terhadap anggaran pemilu itu sendiri. Yang kami pahami, sesuai dengan UU No 7 Tahun 2017 anggaran pemilu itu bersumber dari APBN, sedangkan pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Aceh, hanya dapat membantu untuk kegiatan kegiatan tertentu saja, yang memang sudah dibatasi dalam UU pemilu itu sendiri," kata Asisten 1 Pemerintah Aceh Dr. M. Jafar, SH, M. Hum dalam konferensi pers diruang Biro Humas dan Protokol Setda Aceh, Selasa (16/4).
Jafar menyebutkan, Pemerintah Aceh bersama KIP Aceh sudah beberapa kali melakukan pembahasan, baik melalui rapat koordinasi Forkopimda, atau rapat khusus. Dalam rapat tersebut, sambung Jafar, diakui oleh Pemerintah Aceh, ada beberapa hal yang menjadi kesepakatan, tetapi pada beberapa persoalan yang lain, ada yang tidak menemui titik temu.
"Menyangkut kegiatan-kegiatan yang diminta bantuan anggaran dari Pemerintah Aceh, menurut kami, itu bukan bagian yang dapat dibebankan pada pemerintah daerah. Hal tersebut berdasarkan UU No 7 Tahun 2017," ucapnya.
Pun demikian, lanjutnya, Pemerintah Aceh menyurati Kemendagri, dan meminta penjelasan atas persoalan tersebut.
"Namun secara lisan Kemendagri menjelaskan, kebutuhan anggaran seperti itu tidak bisa dialokasikan pada APBA atau APBD. Tapi secara tertulis, kami belum mendapat jawaban dari Kemendagri," sebut Jafar.
Terkait kebutuhan tenaga kontrak, Ia menegaskan, Pemerintah Aceh tidak bisa membayar honor tenaga kontrak yang direkrut dan diperkerjakan oleh instansi lain.
"Dananya bersumber dari instansi yang memperkerjakan mereka. Kalau mereka diperkerjakan oleh KIP, honor untuk tenaga kontrak itu berasal dari KIP. Pemerintah Aceh tidak boleh membayar honor tenaga kontrak yang direkrut dan diperkerjakan oleh instansi lain," tegasnya.
Ia melanjutkan, terkait kendaraan operasional yang dinilai oleh KIP tidak layak untuk digunakan, Pemerintah Aceh sebenarnya sudah membantu. Jafar menyebutkan, kendaraan digunakan oleh Ketua KIP merupakan kendaraan milik Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh juga pernah menawarkan, tapi dinilai oleh KIP tidak layak untuk digunakan.
"Pemerintah Aceh sebenarnya sudah memberikan, yang sekarang sedang digunakan ketua KIP. Sedangkan untuk kebutuhan-kebutuhan lain, kami sudah pernah menyampaikan, kami dapat membantu, tapi, kendaraan yang tersedia pada Pemerintah Aceh itu kendaraan yang tahunnya sudah agak lama, tapi bagi KIP menilai kendaraan yang kita tawarkan tidak layak untuk digunakan, sehingga kami tidak bisa berikan," papar Jafar.
Kalau kendaraan baru, sambungnya, harus melalui proses pengadaan, dan perencanaan serta penganggaran.
Pada bagian akhir, Ia menjelaskan, Pemerintah Aceh sebelumnya sudah pernah memberikan tanah bagi pembangunan KIP Aceh seluas 4.285 m2. Jafar menyebutkan, tanah tersebut terletak di Jalan Soekarno Hatta, didepan Gedung Wali Nanggroe.
"Sertifikat tanah memang tertulis diperuntukkan bagi pembangunan kantor KIP, namun KIP menganggap tanah itu tidak sesuai, sehingga meminta yang baru. Tentu pengadaan tanah ini kan butuh proses, tidak bisa seketika, yang pertama perlu kajian, karena sebelumnya sudah pernah diberikan, yang kedua pengadaan tanah yang baru, tentu mencari lokasi yang sesuai, dan perlu proses agar tidak terjadi overlapping. Dua lahan pada areal yang berbeda, dengan keperluan yang sama," Jelas Jafar panjang lebar.