Ini Evaluasi Pengamat Terkait Kerja Satgas Covid-19 Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Pengamat Kebijakan Publik Aceh, Nasrul Zaman. [Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengamat Kebijakan Publik Aceh, Nasrul Zaman menilai pernyataan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Aceh, Saifullah Abdulgani terkait berbagai aksi dan kegiatan kecil-kecil yang tidak strategis tanpa melupakan satu aksipun.
"Termasuk pembagian masker ke daerah-daerah, yang kalau dilihat biaya mengantarnya lebih besar dari pada jumlah masker yang diantar ke seluruh kabupaten kota dan menyebutnya itu keberhasilan," ujar Nasrul kepada Dialeksis.com, Senin (20/9/2021).
Diketahui, beberapa waktu lalu Pemerintah Aceh merilis berbagai capaian telah dilakukan pemerintah Aceh dalam penanganan Covid-19 di Aceh diantaranya; membuka posko covid di Aceh dan Jakarta, membantu pemulangan mahasiswa Aceh di Wuhan, Penyediaan APD untuk tenaga kesehatan untuk penanganan Covid-19.
Pembentukan posko siaga Covid-19 di Dinas Kesehatan Aceh, menetapkan tim gugus tugas Covid-19, bantuan sembako tim medis RSUZA, menggunakan BBT penanganan Covid-19, lauching Lab Balitbangkes Aceh untuk mempercepat PCR Test, melakukan pemberdayaan 150 UMKM untuk penyediaan masker.
Melakukan persiapan menuju tatanan baru di tengah pandemi Covid-19, menginstruksikan pengetatan pengendalian Covid di perbatasan, mempersiapkan ruang isolasi tambahan di RSUD seluruh Aceh, menggunakan asrama haji untuk karantina Orang Tanpa Gejala (OTG) bagi tenaga kesehatan.
Mencanangkan gerakan mandiri pangan, menginstruksikan para ASN untuk wajib pakai masker, mencanangkan gerakan masker sekolah, Gubernur Aceh bersama Forkopimda melakukan vaksinasi, Safari Ramadhan untuk mengajak masyarakat untuk ikut serta melawan wabah Covid-19, meresmikan rumah sakit lapangan covid RSUZA.
Menurut Nasrul Zaman, capaian yang diklaim oleh Jubir Satgas Covid-19 Aceh hasil kerja maksimal mereka, namun tidak satupun kegiatan yang bisa digolongkan strategis dan mencerminkan kemampuan dalam mengorganisir gerakan penanganan dan pencegahan Covid-19 yang sinergis dan kolaboratif serta massif.
Sebelumnya, SAG juga menyebutkan, ada juga pertemuan rutin Satgas Covid-19 di Aceh guna melakukan koordinasi komunikasi dalam penanganan Covid di Aceh dengan sejumlah lembaga dan organisasi masyarakat (Ormas) yang aktif membantu Satgas Covid dengan dukungan anggaran refokusing APBA tahun 2020.
"Misalnya menyebut kerja sama dengan OKP yang hanya membagi-bagi uang ke OKP tanpa pernah dilakukan pelatihan dan membekali mereka untuk strategi aksi lapangan, termasuk juga pelibatan para ulama berkaitan dengan Covid-19 yang hanya berupa menghadirkan ulama kemudian menceramahi sebentar kemudian bubar teratur," ungkapnya lagi.
Nasrul menilai, kepuasan Satgas Covid-19 Aceh itu sangat berlebihan karena indikator kegagalan dapat disebut satu persatu, misalnya Kepala BNPB pusat telah 2 kali ke Aceh membantu Satgas Covid-19 bekerja lebih baik, kedatangan Menteri Sosial juga, bahkan yang terakhir kedatangan Presiden ke Aceh untuk memicu peningkatan jumlah cakupan vaksin di Aceh.
"Kedatangan tamu-tamu penting di Aceh tersebut selalu berkaitan dengan penanganan dan pencegahan Covid-19 yang amburadul dibuktikan peningkatan kasus yang signifikan, cakupan vaksinasi terendah bahkan yang terakhir Banda Aceh menjadi satu-satunya daerah merah di Indonesia," jelasnya.
Ia menjelaskan, sejak awal pihak yang berada diluar pemerintah telah mengingatkan Pemerintah Aceh terutama Satgas Covid-19 bahwa ada 3 upaya yang harus dilakukan jika ingin Aceh disebut berkemajuan dalam kerja-kerja penanganan dan pencegahan Covid-19 yaitu:
Pertama, adanya database yang berisikan sistem informasi Covid-19 yang berisikan data seluruh warga Aceh yang pernah diswab PCR, jumlah berapa kali, data suspect, data positif yang sekali atau berulang juga berisikan early warning system yang terintegrasi dari lokasi batas wilayah Aceh dengan Sumatera Utara dengan seluruh kabupaten/kota di Aceh.
Kedua, lanjutnya, ujung tombak pencegahan adalah gampong yang didukung oleh kesiapan Puskesmas baik SDM, sarana maupun biaya, dan ini yang tidak pernah serius didukung oleh Satgas Covid-19 Aceh.
Ketiga, pelibatan stakeholder untuk peningkatan partisipasi publik, dalam hal ini yang dilakukan baru berupa lip service karena tidak pernah dilakukan training of trainers bagi pemuda, ulama, tengku/ustadz, ormas dan unsur masyarakat lain untuk berkemampuan dalam membantu meningkatkan partisipasi warga dalam penanganan dan pencegahan Covid-19 di Aceh.
"Akibatnya hingga saat ini masih ditemukan lebih banyak warga yang tidak percaya pada Covid-19 dibanding dengan yang percaya sehingga berakibat pada rendahnya cakupan vaksinasi yang mampu dilakukan meski telah melibatkan sebegitu banyak organisasi dan institusi dan kelompok masyarakat untuk konsolidasi vaksinasi massal," tuturnya.
Terakhir, ia menyampaikan, sudah sepatutnya kedatangan Presiden Jokowi beberapa hari yang lalu membuat Satgas Covid-19 sadar akan kelemahannya sehingga segera berbenah untuk kebaikan bersama bukan malah mengumbar keberhasilan semu yang hanya akan membuat besar kepala padahal kinerja minim.