Indonesia Dalam Gempuran Pj, Apa yang Dibutuhkan?
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Firman Noor MA. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Presiden Indonesia Joko Widodo bakal menunjuk pejabat (Pj) gubernur di tahun 2022 dan 2023. Pada 2022, terdapat tujuh provinsi yang kepala daerahnya berakhir masa menjabat, di antara gubernur yang habis masa jabatan ialah Provinsi Aceh.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Firman Noor MA mengatakan, sebetulnya sangat memungkinkan jika penetapan Pj kepala daerah ini terjadi oligarki atau hegemoni kekuasaan karena otoritasnya dikelola penuh oleh presiden dan kemendagri.
Akan tetapi, lanjut dia, oligarki dalam penetapan Pj ini bisa saja terjadi jika presiden Jokowi memiliki minat untuk maju untuk pertarungan politik memperebutkan kursi presiden atau wakil presiden di kemudian hari.
Meski demikian, ia menduga, penetapan Pj kepala daerah tidak akan berarti banyak secara real politik karena Jokowi sudah tidak punya kepentingan apa-apa.
“Sebetulnya peluang untuk Pj yang ditunjuk dari orang-orang terdekat presiden itu besar. Pastilah. Hanya saja, saya melihat, kecuali ada kepentingan Jokowi untuk maju ketiga kalinya. Penunjukan presiden ini tidak akan banyak berarti secara real politik. Karena toh Jokowi sudah tidak punya kepentingan apa-apa,” ujar Prof Firman kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Sabtu (19/2/2022).
Di sisi lain, ucap Prof Firman, indikasi keputusan presiden terhadap Pj tidak berarti apa-apa sangat kuat, lantaran bisa dilihat dengan laju para aktor utama partai politik sedang betul-betul memanaskan mesinnya dalam menghadapi Pemilu 2024.
Sehingga, tegasnya, gagasan untuk presiden maju tiga periode akan mati suri dengan sendirinya.
Tolak Keras Pj dari Kalangan TNI-Polri
Ketua Pusat Penelitian Politik LIPI itu menegaskan, polemik krusial terhadap penetapan Pj bukan di Jokowinya, melainkan seperti yang dikhawatirkan oleh kalangan masyarakat sipil, yaitu Pj yang ditetapkan adalah dari kalangan TNI-Polri.
Karena, lanjut Prof Firman, apabila tampuk kepemimpinan Pj dipegang oleh orang-orang yang berlatar belakang TNI-Polri, maka dikhawatirkan akan membuka luka lama.
Ia berujar, usulan pemerintahan dipegang oleh TNI-Polri tidak begitu banyak mendapat dukungan dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil, namun peluang itu bisa saja terjadi karena sampai hari ini belum ada kejelasan terkait posisi TNI-Polri masuk pemerintahan.
Di sisi lain, adanya gagasan dari beberapa advisor yang bersikukuh untuk bereksperimen dengan memasukkan kembali tentara dan polisi dalam posisi tersebut, menurut Prof Firman, gagasan itu adalah ide yang sangat dangkal.
“Menurut saya, bodoh itu. Karena kita punya 32 tahun pengalaman mereka dalam posisi penting itu, biasa-biasa saja kan, bahkan cenderung menjadi otoriter,” tegasnya.
Modal Utama Penetapan Pj
Menurut Prof Firman, ia tidak melihat ada suatu kepentingan politik terhadap penetapan Pj kepala daerah. Baginya, yang terpenting dalam penetapan Pj gubernur nanti, orang-orang yang disortir harus betul-betul profesional, punya kapabilitas, mampu mendekati masyarakat, dan tidak membuka jaringan oligarki baru.
“Dengan demikian, kecurigaan masyarakat sipil bila Pj kepala daerah itu tidak aspiratif bisa tenggelam dengan sendirinya,” kata dia.
Hak Prerogatif Sulit Diintervensi
Menurut Prof Firman, sangat sulit mengurangi intervensi presiden dalam penetapan Pj kepala daerah agar benar-benar objektif diserahkan kepada Kemendagri. Karena secara aturan begitu adanya.
Ia melanjutkan, idealnya memang kebijakan presiden itu masih bisa dikritik oleh para parlemen. Tapi, ia mengaku pesimis, karena kejadian lapangan adalah para parlemen seperti cenderung membackup apa yang dikatakan oleh presiden.
Selanjutnya, jelas Prof Firman, secara garis aturan perkara penetapan Pj kepala daerah tidak bisa diserahkan kepada DPRD, karena hal tersebut adalah kewenangan Kemendagri.
“Nggak ada garis yang logis, garis pertimbangan-pertimbangan melalui parlemen, tapi memang ini hak prerogatif. Artinya normatif kalau kita bicara kontrol. Karena memang ini garis komandonya jelas,” ungkap Prof Firman.
Formalitas Dibalik Transparansi
Di sisi lain, bicara soal perekrutan atau pra-penunjukan calon Pj kepala daerah dilakukan secara transparan, menurut Prof Firman, transparansi sangat memungkinkan dilakukan. Namun ia juga mengaku pesimis, karena belakangan ini asas transparan hanya dijadikan formalitas semata. [akh]