Indeks Demokrasi Indonesia Ranking 64 Dunia, Prof Firman Noor Sampaikan Penyebabnya
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Prof Firman Noor. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis laporan indeks demokrasi tahun 2020. Dalam laporan tersebut, indeks nilai demokrasi Indonesia berada di urutan ke 64 dunia.
Berkaitan dengan hal itu, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Firman Noor mengaku sejalan dengan laporan yang diterbitkan oleh The Economist.
"Saya sejalan dengan pandangan The Economist, ya. Dan memang Indonesia beberapa tahun terakhir ini telah mengalami kemunduran indeks nilai demokrasi," kata Prof Firman saat dihubungi Dialeksis.com, Sabtu (6/2/2021).
Prof Firman kemudian menjabarkan indikasi penyebab nilai demokrasi Indonesia turun. Pertama, berkaitan dengan jaringan aspirasi masyarakat dalam konteks pembuatan Undang-Undang. Kedua, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang marak terjadi. Dan ketiga, akibat budaya politik di Indonesia itu sendiri.
Adapun yang menyangkut dengan aspirasi masyarakat, Prof Firman menuturkan, aspirasi masyarakat dalam konteks pembuatan Undang-Undang sudah semakin terabaikan.
"Terlihat misalnya dalam kasus Undang-Undang Omnibus Law, mulai dari proses hingga substansinya jelas-jelas terlihat nuansa oligarkis," sebut Prof Firman.
Ia melanjutkan, agenda pembuatan UU Omnibus Law ini tak lebih hanya untuk kepentingan elit dan indikator yang harus diselesaikan dengan cepat sehingga keterlibatan masyarakatd di dalamnya menjadi sangat terbatas.
Kemudian, Prof Firman mengatakan, indikasi penurunan nilai demokrasi selanjutnya ialah berkaitan dengan pelanggaran HAM, terutama pembunuhan-pembunuhan terhadap beberapa aktivis kritis di Indonesia.
Adapun setelah itu, Prof Firman mengatakan, keadaan budaya politik di Indonesia secara umum, tidak kompatibel dengan kehidupan demokrasi.
"Misalnya menyaratkan pertarungan argumentatif berdasarkan objektivitas atau berdasarkan program, bukan berdasarkan SARA dan sebagainya," jelasnya.
Ketua Peneliti LIPI itu mengatakan, kondisi masyarakat Indonesia saat ini juga berada dalam ketakutan ketika hendak menyampaikan aspirasinya.
Hal itu ia katakan karena ada hasil survei yang dikeluarkan oleh Komnas HAM yang menunjukkan angka 36 persen bahwa masyarakat Indonesia tak berani menyampaikan aspirasinya secara bebas.
"Hampir 40 persen masyarakat kita mulai ragu atau bahkan takut untuk menyampaikan aspirasinya dengan bebas," ungkapnya.
Ketika ditanya Indonesia termasuk ke dalam rezim yang mana, Prof Firman mengaku ikut dengan The Economist yang mengatakan bahwa demokrasi Indonesia sedang 'Slow Democracy.'
"Intinya adalah tidak lagi murni demokrasi, dan demokrasi ini telah dibajak oleh elit sehingga telah kontra produktif dengan makna demokrasi itu sendiri sehingga tidak memberi manfaat kepada masyarakat," jelasnya.
Prof Firman menuturkan, terdapat cukup banyak cara untuk meningkatkan atau menstabilkan nilai demokrasi Indonesia.
Pertama, dengan memperbaiki lembaga-lembaga demokrasi dan partai politik. Kedua, aturan main yang lebih suportif terhadap pelaksanaan demokrasi. Ketiga, memberi edukasi politik atau mencontohkan praktik politik yang sehat sehingga masyarakat termotivasi untuk menjalankan demokrasi sesuai makna yang sesungguhnya.
"Memang, ini multidimensi dan multifaktor. Dan itu semua harus dikerjakan secara kolektif dengan melibatkan seluruh elemen bangsa," pungkasnya.