kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Halaqah Aneuk Bangsa Gelar Diskusi Virtual Menatap Masa Depan Aceh

Halaqah Aneuk Bangsa Gelar Diskusi Virtual Menatap Masa Depan Aceh

Kamis, 18 Juli 2024 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Flyer kegiatan diskusi virtual bertema "Menatap Masa Depan Aceh" yang diinisiasai Halaqah Aneuk Bangsa. [Foto: dok. HAB]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Halaqah Aneuk Bangsa menyelenggarakan diskusi virtual bertema "Menatap Masa Depan Aceh" pada Selasa pada Selasa (16/7/2024). Diskusi ini menghadirkan beberapa pemateri yang juga merupakan bakal calon Gubernur Aceh di Pilkada 2024 serta dimoderatori oleh Ketua Umum Halaqah Aneuk Bangsa, Teuku Alfin Aulia. 

Empat pemateri yang diundang yakni Dr. Adli Abdullah, M.Sc. (pemerhati sejarah dan tenaga ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang), Prof. T. Abdullah Sanny (teknokrat dan pendiri Yayasan Beudoh Gampong), Prof. Darni Muhammad Daud (mantan Rektor Unsyiah), dan H. Muhammad Nazar, S.Ag. (mantan Wakil Gubernur Aceh 2007-2012). Diskusi ini bertujuan untuk merencanakan dan menata masa depan Aceh yang cemerlang.

Ketua panitia, Zaidan Shadiq Ridhwana, menyampaikan rasa syukurnya atas terwujudnya kegiatan ini. Ia berharap kegiatan ini dapat bermanfaat bagi pembangunan Aceh ke depan.

Dr. Adli Abdullah dalam pemaparannya menyampaikan bahwa Aceh saat ini masih terperangkap dalam sistem nilai yang dibangun oleh Belanda, yang membagi Aceh menjadi tiga kelompok: feodal, ulama, dan masyarakat. 

Sistem nilai ini harus diubah agar Aceh dapat kembali berada di posisi "dithee lhee kaphee". Aceh juga harus membuka diri kembali dan tidak terperangkap dalam masa lalu. Ia menekankan pentingnya pendidikan karakter yang dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. 

Menurutnya, posisi Aceh saat ini kurang diperhatikan di tingkat nasional. Dr. Adli berharap pemimpin Aceh ke depan dapat memainkan peran dalam mengembalikan posisi Aceh agar kembali diperhitungkan dalam segala aspek, termasuk ekonomi, bukan hanya politik.

Ia juga mengajak seluruh masyarakat Aceh, baik di dalam maupun luar negeri, untuk terus berusaha mengembalikan posisi Aceh seperti sediakala.

Sementara Prof. Darni Muhammad Daud sebagai pemateri kedua menyampaikan rasa prihatinnya terhadap laporan BPS tentang kemiskinan Aceh. Ia menolak pandangan yang menganggap data tersebut tidak benar dengan berbagai bukti kajian dari institusi pendidikan tinggi di Aceh. 

Ia juga kecewa atas ketidakmampuan Aceh dalam meningkatkan pendapatan melalui pendidikan yang komprehensif. Menurutnya, kawasan dengan pendidikan yang baik akan memiliki pendapatan yang lebih baik.

Ia menyoroti paradoks di Aceh, di mana pendidikan dan tingkat SDM relatif baik namun kualitas hidup masyarakat tidak meningkat. Ia menekankan pentingnya generasi muda Aceh untuk terlibat dalam hal-hal produktif dan tidak konsumtif agar Aceh dapat kembali makmur.

Pada kesempatan itu, Prof. Abdullah Sanny mengungkapkan potensi besar sumber daya alam di Aceh yang harus dimanfaatkan dengan baik. Ia menekankan pentingnya pemanfaatan kekayaan mineral tanpa mengabaikan lingkungan.

H. Muhammad Nazar menekankan bahwa Aceh tidak boleh terjebak dalam romantisme kejayaannya atau trauma masa lalu. Aceh harus merekonstruksi sejarahnya seperti sediakala. 


Ia juga menyoroti perlunya daya tawar politik yang kuat di samping kekuatan sosial dan akademik. Nazar berharap agar pemimpin Aceh ke depan memiliki daya tawar yang kuat di hadapan pusat agar keistimewaan Aceh dapat terjaga.

Teuku Alfin Aulia sebagai moderator dan Ketua Umum Halaqah Aneuk Bangsa menyampaikan harapannya agar seluruh peserta dan pemateri bersama-sama memikirkan masa depan Aceh. 

Menurutnya, seluruh elemen harus fokus membangun Aceh dengan lebih baik. Pilkada merupakan agenda penting, namun membangun masa depan Aceh lebih penting. Ia menambahkan bahwa menjaga dan merekonstruksi Aceh merupakan panggilan sejarah bagi segenap masyarakat Aceh di mana pun mereka berada. 

"Jangan sampai perbedaan kepentingan dalam Pilkada membuat masyarakat terpecah," ucap Teuku Alfin.

Ia turut menyebutkan bahwa Aceh harus kembali dibangun setelah luluh lantak selama hampir dua abad akibat perang berkepanjangan, tsunami 2004, dan perjanjian damai antara Aceh dan RI.[*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda