kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Gubernur Aceh Menerima DIPA APBN Rp 48,9 Triliun, Ini Respon Alfian (MaTA)

Gubernur Aceh Menerima DIPA APBN Rp 48,9 Triliun, Ini Respon Alfian (MaTA)

Minggu, 29 November 2020 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)/Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gubernur Aceh Nova Iriansyah menerima dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN tahun 2021 senilai Rp 48,9 trilliun dari Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Aceh Syafriadi, yang berlangsung di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, Jumat (27/11).

Menanggapi hal itu, Alfian selaku Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengatakan, sektor pemerintahan yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi adalah pada saat pengadaan barang dan jasa, dana hibah dan Bantuan Sosial (Bansos).

Dalam konteks Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), komitmen fee pasti berlaku dalam Pemerintah Aceh dan ini sudah menjadi rahasia umum. Pernah ditemukan melalui salah satu indikator misalnya ada testimoni pada rekanan-rekanan, misalnya 10-20% dan penyakit ini sampai sekarang belum bisa meresap karena hal ini menyangkut political will Gubernur juga.

Begitulah yang disampaikan Alfian saat dihubungi Dialeksis.com, Minggu (29/11/2020). 

“ Kalau Gubernur tidak memiliki ketegasan, proses komitmen fee ini tetap akan berjalan dan ini juga akan mencederai terhadap tata kelola, dampak terhadap percepatan pemerataan kemiskinan, kesejahteraan rakyat Aceh ketika tata kelola masih korup,” ujarnya.

“ Pemerintah Aceh harus ada semacam unit pencegahan. Nah, walaupun misalnya ada kejaksaan dan kepolisian seharusnya mereka bisa masuk dalam pencegahan, tetapi sampai sekarang belum ada yang memulai,” tambahnya. 

Menurutnya, tata kelola Pemerintah Aceh kembali pada kondisi yang sangat buruk. Ini yang sebenarnya yang menghajar masyarakat Aceh, karena dalam membangun sistem yang anti korupsi seperti saat ini sudah adanya E-procurement dan E-Budgeting, namun aplikasi-aplikasi tersebut juga persoalan korupsi yang terus berevolusi, artinya tujuan dibangun beberapa aplikasi dengan tujuan untuk pencegahan tetapi itu tetap terjadi (korupsi) karema tidak dapat dielakkan.

“ Menyangkut status RAPBA, sudah diserahkan Gubernur kepada DPRA kemarin, kita melihat bahwa proses cepat atau lambat dengan pengalaman selama ini, cepat itu tidak menjamin bahwa proses prioritas anggaran pemerintah untuk mensejahterakan rakyat,” kata Alfian.

Alfian berharap, tidak akan terulang lagi posisi tahun 2019, 2020 sampai terjadinya alokasi anggaran biaya belanja operasional mobil pejabat mencapai 100 Miliar, Ini mencederai rasa keadilan dan pemborosan anggaran [Nora].

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda