Beranda / Berita / Aceh / GeRAK: Pentingnya Tertib Administrasi Dapat Kurangi Kerugian Negara

GeRAK: Pentingnya Tertib Administrasi Dapat Kurangi Kerugian Negara

Kamis, 09 September 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askalani, SHI. [Foto: Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) telah selesai melakukan pemeriksaan keuangan pada periode 2018-2020. Hasilnya ditemukan indikasi kerugian negara dan/atau daerah senilai Rp38,16 triliun yang berasal dari beberapa sumber.

Temuan ini dirincikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) BPK Bahtiar Arif, Senin (6/9/2021) pada rapat dengar pendapat (RDP) Komisi XI DPR RI.

Berdasarkan hal itu Dialeksis.com, Kamis (9/9/2021) menghubungi Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askalani, SHI untuk diwawancara.

Dirinya mengatakan, Pertama, kalau hasil perhitungan BPK RI hampir setiap tahun menemukan titik fokus masalah.

“Yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab, baik dalam skema keuangan atas lembaga maupun Instansi terkait,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Kamis (9/9/2021).

Kemudian ia menjelaskan, hasil audit BPK ini bagian dari resume terkait dengan tindak lanjut proses atas pertanggung jawaban anggaran yang dibelanjakan.

“Nah, kalau misalkan di skema nasional itu, yang bersumber dari APBN, kemudian dibelanjakan oleh kelembagaan atau pihak lain, tentu hasil audit ini menjadi catatan penting bagi pemerintah atas pelaksanaan Anggaran. Nah begitu juga dengan daerah, kalau kemudian bantuan yang diserahkan oleh kementerian untuk daerah, juga menjadi proses yang tidak luput dari hasil audit yang dilakukan oleh BPK,” ujarnya.

Askalani mengatakan, Hasil audit BPK itu ada 2 hal yang menjadi catatan penting yaitu, Pertama, terkait dengan transaksi yang sesuai dengan peruntukan.

“Atau dalam hal ini kita sebut sesuai dengan UU yang mengatur tentang mekanisme dan tata cara pengelolaan keuangan daerah,” sebutnya.

Kedua, menyangkut soal terkait dengan hubungan ada tidaknya potensi timbulnya kerugian negara.

“Jadi dua aspek itu yang dilakukan kajian mendalam oleh BPK, dan hasil yang ditemukan dari tahun 2018 sampai 2020, jika dilihat dengan total Rp 38,16 Triliun lebih, itukan berhubungan dengan belanja yang diperuntukkan untuk kepentingan sektor publik,” tukas Askalani.

Dia melanjutkan, misalnya kita melihat ke sektor-sektor yang kemudian yang menjadi perhatian khusus atau dana yang di berikan langsung oleh pemerintah kepada masyarakat.

“Tentu didalamnya itu berhubungan juga dengan misalnya alokasi Anggaran yang diperuntukkan untuk belanja bantuan sosial (Bansos), pembangunan infrastruktur. Itu dua pokok inti dari hasil audit yang dilakukan secara menyeluruh oleh BPK, tetapi kalu kita mau terbuka semakin tinggi rasio potensi kerugian keuangan, maka itu semakin membebankan keuangan negara,” jelas Askalni.

Seharusnya, Askalani menyampaikan, rasio dari hasil audit yang dilakukan oleh BPK itu dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kebocoran.

“Jadi kalau masih tinggi kebocoran artinya ada yang harus diperbaiki berikutnya pada saat perencanaan penganggaran yang akan datang,” ucap Askalani.

Adapun kebocoran alokasi anggaran yang dimaksud, Askalani menjelaskan kembali, salah satunya adalah peruntukan yang tidak sesuai dengan perundang-undangan atau munculnya potensi kerugian negara yang berdampak hukum.

“Misalnya operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK atas proyek-proyek infrastruktur negara yang sedang dibangun, misalnya perencanaan pembangunan jalan penghubung daerah, atau tangkap tangan benih lobster atau bansos, itu punya dampak hukum, semakin tinggi proses dampak hukum dari mekanisme pertanggung jawaban semakin tinggi kebocoran itu menunjukkan ada seuatau yang salah dari proses pelaksanaan pertanggung jawaban keuangan negara,” jelasnya.

Berdasarkan kelompok pemeriksaan, ia mencatat pada 2018, BPK melakukan 256 pemeriksaan kinerja dan 286 pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).

Selanjutnya, pada 2019 pemeriksaan kinerja naik menjadi 271, namun PDTT turun menjadi 257. Sedangkan 2020 pemeriksaan kinerja turun menjadi 261 dan PDTT melambung menjadi 316 pemeriksaan.

Dari hasil itu, Askalani menjelaskan juga, seharusnya, kalau misalnya temuan dari BPK dilaporkan kepada kelembagaan terkait atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bertanggung jawab, adanya waktu itu 60 hari untuk masa perbaikan.

“Untuk memperbaiki catatan dari BPK itu sendiri, kalau dalam 60 hari tidak bisa diperbaiki, maka kemudian proses selanjutnya itu menjadi ranah instansi yang lain. Kalau ditemukan pelanggaran yang berpotensi merugikan keuangan negara maka kemudian diambil lagi oleh aparat penegak hukum,” tegasnya.

Askalani menyampaikan, jadi tujuan dari hasil audit BPK adalah mengurangi kejadian perkara pada tahun berikutnya.

“Harusnya menguarangi bukan meningkat, jadi harus diperbaiki catatan BPK secara keseluruhan jika ada yang berhubungan dengan soal administrasi, tetapi yang berpotensi merugikan negara harus didorong penyelesaiannya dengan skema ganti rugi atau kemudian pendalaman materi oleh penegak hukum,” jelas Askalani kepada Dialeksis.com.

Askalani menyampaikan, salah satu point penting adalah dalam pengelolaan keuangan daerah dan negara itu adalah soal tertib administrasinya.

“Tertib akan azas dan tidak melanggar dengan aturan hukum yang mengatur, nah kalau misalnya masih ditemukan ada pelanggaran yang berpotensi merugikan atau kemudian dia melanggar aturan hukum, maka yang perlu dilakukan bukan hanya memperbaiki tapi juga melakukan pergantian rotasi terhadap orang-orang yang bertanggung jawab dan catatan BPK itu adalah salah satu cara untuk meminimalisir terjadinya potensi total Lose bagi kerugian keuangan negara berikutnya atau negara dari sektor yang dilakukan baik mau dari sektor pembangunan maupun bantuan kepada publik,” tutupnya kepada Dialeksis.com. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda