DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh kembali menyoroti tata kelola pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Aceh yang dinilai masih jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Dalam diskusi media bertajuk Urgensi Moratorium Izin Tambang di Banda Aceh, Rabu (29/10/2025), Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan, menegaskan bahwa sejumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh hanya aktif di atas kertas, namun mangkrak di lapangan.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh per Juni 2025, terdapat 64 IUP minerba aktif di Aceh, yang terdiri dari 28 IUP berstatus operasi produksi dan 36 izin eksplorasi.
Namun, kata Fernan, temuan GeRAK menunjukkan bahwa sebagian IUP yang berstatus operasi produksi justru tidak menjalankan aktivitas apa pun di lapangan.
“Ada IUP yang sudah operasi produksi, tapi tidak ada kegiatan produksi dan penjualan. Ini berarti ada izin yang dibiarkan ‘menganggur’. Situasi ini tidak hanya melanggar ketentuan hukum, tapi juga berpotensi merugikan negara,” ujar Fernan dalam paparannya yang dihadiri media dialeksis.com.
Fenomena IUP mangkrak ini bukan hal baru. Fernan mengingatkan, pada 2014 GeRAK Aceh pernah mengendus adanya praktik bisnis portofolio dalam pengelolaan izin tambang.
Modusnya, izin digunakan sebagai instrumen pencitraan nilai saham, jaminan pendanaan, hingga keterlibatan lembaga keuangan dan investor luar negeri, tanpa aktivitas nyata di lapangan.
“Izin tambang dijadikan alat transaksi keuangan, bukan alat produksi sumber daya. Pemerintah harus berani menelusuri siapa sebenarnya pemilik izin ini. Jangan-jangan ada pihak lain yang bermain di balik nama perusahaan yang tercatat,” kata Fernan.
Ia menekankan pentingnya pendekatan epemilikan sebenarnya dari setiap izin yang beroperasi di Aceh. Menurutnya, ini menjadi langkah awal untuk menutup celah korupsi dan memastikan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam (SDA) tetap di tangan rakyat Aceh.
"Pemerintah Aceh perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan mendalam, terutama pada IUP yang tidak aktif. Bila ditemukan pelanggaran, cabut izinnya. Jangan ada kompromi,” tegas Fernan.
Selain soal IUP mangkrak, GeRAK Aceh juga menyoroti fenomena penerbitan izin baru yang muncul di masa transisi kepemimpinan daerah.
Berdasarkan data hasil olahan GeRAK Aceh dari Panitia Khusus (Pansus) Tambang DPRA tahun 2024, penerbitan IUP di Aceh cenderung meningkat menjelang berakhirnya masa jabatan kepala daerah.
Selama periode Gubernur Zaini Abdullah (2012“2017), diterbitkan 4 IUP baru. Pada masa Irwandi Yusuf (2017“2018) jumlahnya naik menjadi 7. Di era Nova Iriansyah (2018“2022), tercatat 10 IUP baru.
Sementara pada masa Pj Gubernur Ahmad Marzuki (2022“2024) ada 12 IUP baru, dan Pj Bustami Hamzah pada 2024 sudah menandatangani 9 IUP tambahan.
"Polanya jelas: setiap menjelang Pilkada atau pergantian kepala daerah, izin tambang tiba-tiba banyak keluar. Prosesnya cepat, tidak transparan, dan sangat rawan penyalahgunaan,” ungkap Fernan.
GeRAK Aceh bahkan pada 2023 telah melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan pelanggaran dalam penerbitan 14 izin baru hanya dalam kurun waktu sembilan bulan, yakni Januari hingga September 2022.
Dalam forum yang sama, Fernan mendesak Pemerintah Aceh segera menetapkan moratorium penerbitan izin tambang baru hingga evaluasi menyeluruh terhadap seluruh IUP dilakukan.
Menurutnya, moratorium bukan hanya untuk menahan laju eksploitasi, tapi juga untuk memastikan tata kelola izin yang sudah ada benar-benar bersih dari praktik korupsi dan konflik kepentingan.
"Moratorium adalah langkah penyelamatan. Ini soal keberlanjutan lingkungan, keadilan ekonomi, dan integritas pemerintahan. Kalau tidak segera dihentikan, kita akan melihat Aceh dijual izin demi izin tanpa manfaat nyata bagi rakyatnya,” pungkas Fernan.