GeRAK Aceh Barat Minta Pemerintah Serius Tangani Tongkang Batu Bara yang Terdampar
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Aceh Barat - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra menyoroti keseriusan pemerintah dan juga Kementerian Lingkungan Hidup (Gakkum) terkait aspek penegakan hukum di bidang lingkungan hidup atas terdamparnya tongkang milik rekanan dan disebut milik PT Adhi Guna Putera yang bermuatan batubara milik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1-2.
Sebagaimana diketahui tongkang tersebut terdampar di pesisir pantai Desa Gampong Lhok, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya pada Selasa 28 Juli 2020 lalu.
"Hasil investigasi yang kita lakukan dilapangan, hingga saat ini tongkang tersebut masih terbiarkan terdampar di pesisir pantai dan sebagian badan tongkang sudah hancur," jelas Edy kepada Dialeksis.com, Kamis (10/12/2020).
"Atas hal ini, kami menduga bahwa pemerintah, baik tingkat provinsi dan kabupaten serta Gakkum Kementerian LHK tidak serius dan kami menduga tidak mampu memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan tersebut, apalagi rekanan tongkang dan batubara tersebut terindikasi milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PLTU 1-2," tambahnya.
Ia melanjutkan, pihaknya ingin kejelasan atas proses penegakan hukum di bidang lingkungan hidup ini, di mana sudah jelas-jelas terindikasi ada dampak kerugian atas kandasnya Tongkang Sun Lion V yang dipenuhi batubara dan tumpah ke laut.
Bila merujuk dan berdasarkan dokumen paska verifikasi lapangan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup, Staf Seksi Standarisasi dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, dan juga Sekretaris DLH Kabupaten Nagan Raya tertanggal 12 Agustus 2020.
Disebutkan muatan batubara dalam Tongkang Sun Lion V sebanyak 1.500 metrik ton. "Artinya kami ingin ketegasan atas hal ini, benarkah isi muatan Sun Lion V sebagaimana disebutkan dalam laporan berjumlah 1.500 metrik ton, namun dalam dokumen verifikasi lapangan belum menunjukkan daily report atas keakuratan jumlah batubara tersebut," jelasnya.
"Ini penting, dengan mengingat dan menimbang, bahwa dari awal semenjak tongkang itu terdampar ke bibir pantai, seluruh muatan batubara tumpah ruah ke dalam laut, tidak terhitung berapa total kerugian negara atas hal tersebut dalam kerusakan lingkungan bawah laut dan biotanya," tambahnya.
Bahkan dalam dokumen tersebut, lanjut Edy, kejadian atas kandasnya tongkang tersebut tercatat hingga sebanyak 2 (dua) kali, yaitu pada Januari 2019 dan Juli 2019. Dimana kejadian tersebut juga mengakibatkan tumpahnya seluruh volume batubara sebanyak 1.500 metrik ton.
"Tentunya kami menuntut agar pihak yang melaksanakan bongkar muat batubara tersebut untuk bertanggungjawab sepenuhnya, bila merujuk kepada dokumen veridikasi lapangan tersebut maka maka pihak yang bertanggungjawab adalah PT. Adhi Guna Putera," ungkap Edy.
"Dan bahkan perusahaan tersebut juga disebutkan untuk melakukan clean up (pembersihan) atas tumpahan batubara di perairan laut dan Pantai Lhok, perintah lainnya adalah melakuan evakuasi Tongkang Sun Lion V di perairan laut dan pantai Lhok," tambahnya.
Bagaimanapun, lanjut Edy, kesehatan dan lingkungan hidup yang baik tidak boleh direnggut secara sewenang-wenang apalagi dengan dalih melakukan investasi.
Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlidungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana disebutkan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Selain itu juga dituliskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut.
"Namun faktanya, hingga saat ini (Desember 2020). Evakuasi Tongkang Sun Lion V belum dilaksanakan, padahal bila merujuk kepada surat tersebut maka evakuasi tongkang selambat-lambatnya 5 (lima) minggu yang berarti akhir November 2020 sudah selesai dilaksanakan. Bahkan dalam tindak tanggap darurat tersebut, perusahaan wajib segera mencari solusi teknologi pembersihan/clean up bongkahan batubara di dasar laut," jelas Edy.
"Atas hal tersebut, kami menuntut agar pihak rekanan diberikan sanksi secara tegas, baik secara pidana dan juga mengganti kerugian (perdata) dan upaya lainnya adalah meminta pertanggungjawaban untuk segera melakukan pembersihan maksimal atas material batubara yang tumpah ke dalam laut hal ini patut dilakukan sebagai upaya menghindarkan dampak pencemaran laut (lingkungan) dan meganggu kehidupan biota dalam laut," ujarnya.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2O2O Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2OO9 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, dimana skemanya memungkinkan pemerintah memberikan sanksi administratif terhadap perusahaan.
"Seperti, proses audit dan investigatif, pembekukan izin, dan kemudian bila ditemukan ada proses yang dilanggar, maka hal ini memungkinkan untuk memberikan sanksi terhadap si pelaku usaha," jelas Edy.
"Sepatutnya bila merujuk kepada aturan tersebut, ada sanksi yang harus diberikan segera kepada pihak rekanan, dan atas hal itu kami meminta agar persoalan ini tidak boleh ditutup ke publik. Negara tidak boleh kalah atas ulah perusahaan yang jelas-jelas sudah menimbulkan dampak kerugian, bila tidak, kami menduga ada sesuatu hal yang tidak beres sedang dipraktekkan di republik ini dan terus berulang tanpa ada proses penyelesaian," tambahnya.
Koordinator GeRAK Aceh Barat itu mendesak pihak terkait, dalam hal ini Syahbandar untuk perlu melakukan pemeriksaan secara akurat dan teliti terhadap hal-hal lain atau faktor lainnya atau kombinasi dari beberapa faktor seperti kerusakan mesin, tarikan kapal tunda yang kurang kuat, peta navigasi yang tidak diperbarui, serta kerusakan pada tali atau roda gigi penarik yang kemudian menyebabkan ketidakstabilan atau kerusakan struktural.
"Hal ini guna mencegah Kembali terulang persoalan yang serupa dikemudian hari," jelas Edy.
"Apa yang kami sampaikan adalah dalam upaya penegakan hukum dibidang pelayaran. Bukan tidak mungkin, kami menduga ada indikasi pelanggaran bila dilihat dari segi pelayaran tentunya mengacu kepada Undang-undang (UU) Pelayaran, dan atas hal itu bukan tidak mungkin ada pengabaian dan akhirnya timbul unsur baik disengaja oleh perusahaan pengoperasi maupun Syahbandar di pelabuhan tersebut," pungkasnya.