Sabtu, 04 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Generasi Muda Diminta Bergerak Selamatkan Aceh dari Tambang Ilegal

Generasi Muda Diminta Bergerak Selamatkan Aceh dari Tambang Ilegal

Jum`at, 03 Oktober 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Angga Putra Ariyanto, SH., CPLA, pegiat muda asal Aceh Barat Daya. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tambang emas ilegal di Aceh seperti lagu lama yang tak kunjung berhenti diputar. Bedanya, kali ini nadanya lebih sumbang, dengan kerusakan yang jauh lebih besar. Dari masa kesultanan, emas selalu jadi rebutan. 

Namun, berbeda dengan pengelolaan di masa lalu, kini penambangan tanpa izin menjelma praktik merusak ekosistem, mengabaikan hukum, dan merugikan masyarakat.

Data terbaru menunjukkan aktivitas tambang ilegal telah menjalar ke areal seluas 3.500,55 hektare dan 2.318,36 hektare di titik lain. Sebagian di antaranya berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), paru-paru dunia yang mestinya dijaga, bukan dihancurkan.

“Kalau praktik ini terus dibiarkan, kita sedang mewariskan bencana, bukan emas,” kata Angga Putra Ariyanto, SH., CPLA, pegiat muda asal Aceh Barat Daya kepada media dialeksis.com, Jumat (3/10).

Menurut Angga, kerusakan yang ditimbulkan sudah di luar batas. Penambang menggunakan eskavator, mengupas hutan lindung, dan menggali sungai dengan bahan kimia berbahaya seperti merkuri. 

Dampaknya bukan hanya hilangnya daya serap tanah yang memicu banjir dan longsor, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan manusia dan satwa.

“Merkuri itu racun. Masuk ke air, lalu ke tubuh ikan, hewan, sampai manusia. Lama-lama jadi bom waktu kesehatan,” ujar Angga.

Tambang emas ilegal juga menekan habitat satwa liar di pegunungan Aceh. Kawasan lindung yang seharusnya menjadi ruang hidup gajah, harimau, dan beragam jenis burung, justru berubah menjadi lahan tambang.

Fenomena ini, kata Angga, seperti siklus yang berulang dari masa ke masa. Dari era konflik hingga damai, praktik tambang tanpa izin selalu muncul dalam wajah baru. “Pertanyaannya, apakah ini sekadar lagu lama, atau sudah jadi lagu baru dengan kerusakan yang lebih parah?” katanya.

Menurut Angga, solusi tak bisa hanya diserahkan pada pemerintah. Regulasi dan penegakan hukum memang penting, tapi kesadaran masyarakat juga menentukan. 

“Generasi muda harus berani bersuara. Jangan diam. Hutan dan sungai lebih berharga dari emas,” ujarnya.

Kilauan emas memang menggoda, tapi bagi Aceh, harga yang harus dibayar terlalu mahal. Hutan hilang, tanah rusak, satwa lenyap, dan masyarakat menanggung bencana.

“Jangan sampai kita sadar setelah terlambat. Karena emas yang kita perebutkan bisa saja berubah menjadi kutukan,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI