DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Munculnya fenomena perempuan merokok di sejumlah ruang publik di Banda Aceh memantik perdebatan di tengah masyarakat.
Di satu sisi, norma sosial dan nilai-nilai syariat menilai perilaku tersebut tidak pantas, namun di sisi lain muncul stigma berlebihan yang hanya menyoroti perempuan sebagai pelaku, tanpa menyoal bahaya rokok secara universal.
Merespons hal itu, Nadia Ulfah selaku Project Leader Implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Banda Aceh The Aceh Institute menegaskan bahwa persoalan ini perlu ditinjau secara lebih menyeluruh.
Bukan hanya dari perspektif nilai budaya atau agama, tetapi juga dari aspek kesehatan publik dan penegakan regulasi.
“Kota Banda Aceh sudah memiliki Qanun No. 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok, yang secara jelas melarang aktivitas merokok di 12 kategori ruang publik,” ungkap Nadia kepada wartawan Dialeksis.com, Selasa (1/7/2025).
Menurut Nadia, aturan itu berlaku untuk semua warga tanpa memandang jenis kelamin. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan, siapa pun yang merokok di area-area yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok tetap melakukan pelanggaran.
“Bahaya rokok itu bersifat universal. Tidak boleh ada standar ganda dalam memandang rokok sebagai ancaman kesehatan. Aktivitas merokok tetap merugikan diri sendiri dan orang lain karena paparan asap rokok,” jelasnya.
Nadia juga menyoroti munculnya kecenderungan menstigma perempuan perokok secara berlebihan, seolah-olah perempuan menjadi biang persoalan, sementara rokok sendiri adalah masalah kesehatan lintas gender.
“Stigmatisasi berlebihan kepada perempuan perokok berisiko memperkuat ketimpangan sosial. Fokus kita justru berpotensi bergeser dari tujuan utama regulasi, yakni perlindungan kesehatan masyarakat,” tegasnya.
Nadia menilai penegakan qanun harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan konsistensi, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin pelanggar.
Namun di saat yang sama, pendekatan edukasi berbasis komunitas juga harus digencarkan, khususnya kepada kelompok perempuan agar mereka mendapat ruang dialog yang lebih terbuka dan sensitif terhadap isu gender.
“Sebagai pegiat KTR, saya percaya bahwa solusi atas isu ini bukan hanya melalui pendekatan hukum dan penertiban, tetapi juga melalui pendekatan edukatif berbasis komunitas, termasuk kepada kelompok perempuan. Diperlukan ruang-ruang dialog yang sensitif gender untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya merokok dan mendorong partisipasi aktif perempuan dalam menciptakan lingkungan yang sehat bagi diri mereka sendiri, keluarga, maupun masyarakat luas," papar Nadia.
Ia pun mengajak semua pihak, mulai dari pemerintah, ulama, pengelola tempat publik, komunitas, hingga tokoh masyarakat, untuk mendukung penguatan implementasi KTR di Banda Aceh secara adil dan tanpa bias gender.
“Semua pemangku kepentingan harus berkolaborasi agar penegakan kawasan tanpa rokok berjalan konsisten, menghargai nilai-nilai lokal, sekaligus berpijak pada prinsip kesehatan publik,” tutupnya. [nh]