kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Fenomena Pengemis Anak di Aceh, DP3A Lakukan Peninjauan agar Tidak Terjadi Kekerasan

Fenomena Pengemis Anak di Aceh, DP3A Lakukan Peninjauan agar Tidak Terjadi Kekerasan

Jum`at, 03 Februari 2023 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana, S.STP, M.Si [Foto: Dialeksis/Nora]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fenomena pengemis yang memanfaatkan anak-anak dalam melancarkan aksi meminta-minta masih menjadi permasalahan sampai saat ini.

Larangan menggelandang dan mengemis, di mana hal itu diatur dalam Pasal 504 dan 505 dalam KUHP, serta sanksi denda bagi pemberi pengemis yang diatur perda, tak serta merta menghapus perilaku mengemis di jalanan. Apalagi mereka yang memperalat anak-anak semakin menjamur.

Seperti di Kota Banda Aceh, kini pengemis anak semakin marak dan sangat mudah menemukan keberadaan mereka. 

Mereka (pengemis) beraksi di sekitaran persimpangan lampu merah, restoran, cafe-cafe, bahkan ada di tempat-tempat wisata. 

Selain mengemis, anak-anak juga sering dimanfaatkan untuk berdagang di jalanan karena warga akan lebih iba jika melihat anak yang berjualan, untuk itu para orangtua sering menyuruh anak bekerja bahkan sampai larut malam. 

Fenomena tersebut tentu menaruh perhatian besar pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten kota. 

Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana, S.STP, M.Si mengatakan, selama ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk membasmi pengemis dan pekerja anak di bawa umur.

“Contoh, anak-anak yang dibawa oleh orangtuanya bekerja di jalanan, pernah kita ambil dan kita bina, disekolahkan, ditempatkan di tempat tinggal yang layak, lalu tiba-tiba orangtuanya datang mengambil kembali sang anak,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Jumat (3/2/2023). 

Sambung, mengambil anaknya itu bukan tanpa alasan, orangtua mengatakan bahwa anak mereka akan mendatangkan uang yang lebih banyak dibanding jika mereka (orangtua) yang berjualan. 

Meutia juga menyampaikan, penanganan terkait kasus mengemis itu adalah bagian dari tugas dinas sosial, tetapi DP3A sendiri meninjau jangan sampai terjadi kekerasan pada anak atau perempuan. 

“Karena takutnya kalau dipaksa jualan akan berpotensi terhadap kekerasan, makanya kami melakukan penjangkauan ke arah itu,” jelasnya. 

Kata Meutia, beberapa waktu lalu, pihaknya bersama Dinsos Aceh dan DP3AKB Kota Banda Aceh turun lapangan untuk melihat secara langsung kondisi anak-anak yang di jalanan yang bekerja ikut orangtua. 

“Kami juga mendapatkan arahan khusus dari ibu PJ Gubernur Aceh terhadap hal ini agar bisa diperhatikan lebih intens lagi sehingga kami langsung turun ke lapangan,” terangnya. 

Meutia mengaku, peristiwa itu tentu membuat semua orang miris melihatnya, tetapi satu sisi himbauan untuk tidak memberikan itu juga ada tapi tidak terlaksana dengan maksimal, namun masyarakat juga tidak bisa disalahkan. 

“Apalagi masyarakat Aceh kita ini sangat sosial, mudah iba melihat anak-anak, rasa kasian itu yang tidak bisa dihindari,” ucapnya. 

Selain upaya dari pemerintah, kata Meutia, beberapa komunitas juga ikut turun langsung ke lapangan dan ketika anak-anak itu diajak, sebagian besar menolak dan kalaupun mau akan dikejar oleh orangtuanya minta dikembalikan anaknya. 

“Jadi sekrang ini bukan sekedar urusan kita ambil anak itu, kita tarok dia sudah selesai, bukan begitu, jadi ini permasalahan yang agak kompleks,” jelasnya lagi. 

Ia menjelaskan, setiap anak yang diambil harus ada izin dari orangtua, jadi untuk menjangkau atau melakukan upaya penertiban itu tidak bisa bekerja sendiri jadi semua lintas sektor harus harus bekerjasama. (Nor)

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda