Beranda / Berita / Aceh / Fajran Zain: Pilkada 2022 Adalah Harga Diri Aceh

Fajran Zain: Pilkada 2022 Adalah Harga Diri Aceh

Kamis, 19 November 2020 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Fajran Zain. [IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Fajran Zain mengatakan, wacana kontradiksi regulasi dalam soal pelaksanaan pilkada Aceh, apakah di tahun 2022 atau tahun 2024, sudah selesai.

"Dari berbagai analisis kita sudah bisa mengambil sikap bahwa pilkada memang harus dilaksanakan pada tahun 2022. Hal ini merujuk pada perintah pasal 65 (ayat 1) UUPA (UU 11 tahun 2006) yang besifat mengikat seluruh unsur pemerintahan di Aceh," jelas Fajran kepada Dialeksis.com, Kamis (19/11/2020).

Ia melanjutkan pasal 65 (ayat 1) UUPA sudah sangat eksplisit mengatakan Pilkada di Aceh merupakan siklus demokrasi yang berlangsung setiap 5 tahun sekali. Hal itu tertulis secara eksplisit dalam pasal tesebut.

Dalam logika hukum, bunyi pasal tersebut memiliki norma imperative dan norma mandatory, yang artinya jelas tanpa perlu tafsir lain dan bersifat wajib ditaati. Menggunakan mekanisme siklus 5 tahunan maka bila pilkada terakhir berlansung pada 2017 maka pilkada selanjutnya adalah pada tahun 2022.

"Kita akui disisi lain ada aspirasi dari pemerintah pusat untuk menyerentakkan penyelenggaraan pada tahun 2024, dengan berbagai alasan normatif seperti efisiensi anggaran dan sebagainya. Namun hal tersebut tidak lantas memberi celah bagi Aceh untuk menganulir ketetapan yang sudah diatur dalam pasal 65 (ayat 1) UUPA diatas," ujar Fajran.

"Memaksakan 2024, walaupun juga memiliki landasan hukum, akan bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam UUPA yang juga merupakan instrumen hukum," tambahnya.

Diketahui UUPA adalah produk hukum yang mengatur tentang kekhususan Aceh. Kekhususan yang tidak bisa dengan serta merta dianulir dengan berbagai kebijakan yang seringkali diproduksi tanpa melewati proses konsultasi dan pertimbangan dari pemerintah Aceh. Disini saja sudah meninggalkan satu persoalan, ketika UU pemilu nasional yang muatannya bertabrakan dengan muatan UUPA, namun tidak dilakukan proses konsultasi seperti yang diatur dalam pasal 269 (ayat 3) UUPA.

Lalu Aceh dihadapkan pada pilihan melaksanakan pilkada merujuk pada UUPA atau UU Pemilu nasional. Melandaskan pelaksanaan dengan mengabaikan perintah UUPA itu sama dengan menggadaikan kekhususan diri sendiri yang sudah dirumuskan oleh pemerintah Aceh sendiri dan disahkan serta diakui secara nasional.

"Pertanyaannya, siapakah yang akan menjaga kekhususan Aceh kalau bukan orang Aceh sendiri. Maka pada titik ini pelaksanaan pilkada 2022 adalah soal harga diri, dan soal konsistensi kita dalam menjaga kekhususan Aceh, yang kita sadari atau tidak, pelan-pelan kekhususan Aceh hilang digerus oleh peraturan-peraturan lain yang dibuat tanpa mengindahkan keberadaan UUPA," ungkap Fajran.

"Cukup sudah kekhususan-kekhususan Aceh digerus. Saatnya mulai mengambil kembali kekhususan yang telah diberikan dan diatur dalam UUPA, pada saat yang sama mengawal dan menjaga kekhususan yang masih tersisa (ada)," tegasnya.

"Karena itu kami menilai bahwa, atas nama menjaga kekhususan Aceh, kami mendesakkan para pihak untuk tetap focus dan konsisten pada perintah UUPA terkait pilkada. Para pihak –eksekutif, legislative dan KIP—agar segera melakukan kordinasi khusus karena ada beberapa hal yang perlu disikapi segera, dalam waktu yang sudah sangat mendesak," tamabahnya.

Ia melanjutkan, KIP perlu menyempurnakan tahapan pilkada, eksekutif memastikan ketersediaan anggaran, legislative dan eksekutif menyelesaikan revisi qanun pilkada serta merekrut panwaslih serta beberapa kebijakan lain terkait dengan pilkada 2022.

"Dalam catatan kami, sejauh ini tidak ada pihak yang dirugikan dengan pilkada 2022, baik eksekutif, legislative dan penyelenggara/KIP. Kemendagri juga sudah memberi signal bahwa pilkada 2022 adalah sesuatu yang bisa didiskusikan, hanya saja di Aceh kita butuh keberanian dan kesamaan visi antara para pihak yang merupakan stakeholder utama pilkada 2022 ini," jelas Fajran.

"Inilah saatnya para pihak berdiri satu visi, satu sikap, menyuarakan aspirasi bersama rakyat Aceh, dan menyatakan pada publik bahwa Aceh bersatu mempertahankan kekhususannya, salah satu pintu masuk yang ada ya Pilkada 2022," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda