Beranda / Berita / Aceh / Evaluasi 19 Tahun Masa Damai, ASYM Kritik Kebijakan dan Implementasi MoU Helsinki

Evaluasi 19 Tahun Masa Damai, ASYM Kritik Kebijakan dan Implementasi MoU Helsinki

Kamis, 15 Agustus 2024 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Founder Aceh Sumatra Youth Movement (ASYM), Fawazul Alwy. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Hari Damai yang diperingati setiap tahun pada tanggal 15 Agustus menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan 19 tahun perdamaian antara Republik Indonesia dan Aceh. 

Founder Aceh Sumatra Youth Movement (ASYM), Fawazul Alwy, menyampaikan pandangannya yang tajam terkait evaluasi perkembangan yang telah dicapai serta tantangan yang masih dihadapi dalam implementasi MoU Helsinki.

Menurut Fawazul, meski ada kemajuan signifikan yang telah dicapai, terutama dalam hal keistimewaan dan kekhususan yang diberikan kepada Aceh, banyak poin dalam MoU Helsinki yang belum sepenuhnya terealisasi atau bahkan terabaikan. 

"Dalam evaluasi perdamaian yang sudah berjalan hampir dua dekade ini, kita melihat ada beberapa hal yang masih terkatung-katung. MoU yang seharusnya menjadi fondasi bagi perdamaian ini, sayangnya, masih ada yang belum ditegakkan secara penuh," ujarnya kepada Dialeksis.com, Kamis (15/8/2024).

Salah satu kritik utama yang dilontarkan Fawazul adalah terkait penerapan MoU Helsinki yang dinilainya hanya setengah hati. 

Ia menyoroti bahwa meskipun ada aturan-aturan khusus yang lahir dari kesepakatan tersebut, pelaksanaannya sering kali tidak maksimal. Salah satu contohnya adalah terkait simbol-simbol keacehan, seperti bendera dan lambang daerah.

"Dalam MoU, Aceh diberikan hak untuk memiliki bendera, lambang, dan himne sendiri. Namun, penerapan di lapangan berbeda. Pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 melarang pengibaran bendera bulan bintang yang menjadi simbol Aceh. Ini menjadi bukti bahwa MoU tersebut belum sepenuhnya dihormati," tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa persoalan ini menciptakan kebingungan dan frustrasi di kalangan masyarakat Aceh yang mengharapkan pengakuan penuh atas identitas mereka. 

"Aceh berhak memiliki simbol-simbol ini sebagai bagian dari kesepakatan perdamaian, tapi kenyataannya, hak tersebut dibatasi. Ini mencerminkan bagaimana implementasi MoU hanya sebatas formalitas tanpa makna substansial," tambahnya.

Fawazul juga mengkritik aspek kesejahteraan sosial yang menurutnya masih jauh dari harapan. 

Dana Otonomi Khusus yang digelontorkan sebesar Rp 120 triliun selama periode damai ini seharusnya mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Aceh. 

Namun, ia mencatat bahwa dampaknya tidak terasa signifikan di kalangan masyarakat luas.

"Seharusnya dana yang besar ini bisa digunakan untuk membangun kesejahteraan sosial yang lebih baik, namun yang kita lihat justru ketimpangan sosial masih terjadi. Pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya memberikan keuntungan besar bagi Aceh, dalam kenyataannya tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat," ungkap Fawazul.

Ia juga menyinggung tentang pendidikan dan kesehatan di Aceh yang meskipun sudah gratis, masih memerlukan peningkatan kualitas. 

"Pendidikan dan kesehatan gratis memang langkah baik, tetapi kualitasnya perlu ditingkatkan. Ini adalah bagian penting dari kesejahteraan yang seharusnya diperoleh semua rakyat Aceh," tambahnya.

Masalah pembangunan di Aceh juga menjadi sorotan. Fawazul menilai bahwa pembangunan yang ada terlalu terfokus di kota-kota besar seperti Banda Aceh, sementara daerah-daerah perbatasan dan wilayah pedalaman masih tertinggal. 

"Pembangunan di Aceh ini terlalu sentral, yang lebih fokus pada ibu kota provinsi. Daerah-daerah perbatasan seperti Singkil dan wilayah barat lainnya masih tertinggal jauh dari segi infrastruktur," katanya.

Ia menekankan bahwa pembangunan yang merata adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Aceh. 

"Kita perlu memastikan bahwa setiap daerah di Aceh mendapatkan perhatian yang sama dalam pembangunan, agar tidak ada lagi ketimpangan sosial yang terjadi," tegasnya.

Selain itu, Fawazul juga menyinggung masalah politik internal Aceh yang menurutnya kurang sehat. Ia menyayangkan adanya persaingan politik yang tidak produktif dan hanya berfokus pada kepentingan segelintir elite, bukan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

"Persoalan politik di Aceh ini sangat kompleks. Sayangnya, banyak yang terjebak dalam persaingan kekuasaan yang tidak membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Ini adalah tantangan besar yang harus dihadapi untuk memastikan bahwa pemerintahan Aceh bisa berjalan dengan baik dan benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat," ungkap Fawazul.

Fawazul juga menyoroti pentingnya menjaga nilai-nilai keacehan yang telah menjadi bagian dari sejarah panjang Aceh. 

Ia berharap pemerintah Aceh dapat lebih memperhatikan dan mengadopsi nilai-nilai budaya dan sejarah yang telah lama ada, sebagai bagian dari identitas daerah.

"Perdamaian di Aceh seharusnya tidak hanya membawa ketenangan, tetapi juga pengembalian nilai-nilai budaya dan sejarah yang selama ini terpinggirkan. Pemerintah Aceh harus berperan aktif dalam mengembalikan dan melestarikan nilai-nilai tersebut, sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan kita sebagai orang Aceh," jelasnya.

Fawazul Alwy berharap bahwa evaluasi 19 tahun perdamaian ini bisa menjadi momentum bagi semua pihak untuk benar-benar memperhatikan implementasi MoU Helsinki secara penuh dan tidak setengah hati. 

"Saya berharap agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat lebih fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh secara menyeluruh, tanpa terkecuali," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

kip
riset-JSI
Komentar Anda