Ekspor Batu Bara, GeRAK Aceh Barat: Bek Teunget ngon Angen Syurga
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizky
Lokasi Tambang PT PBM di KAWAY XVI. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra meminta agar pemerintah daerah di dua kabupaten dan juga legislatif Aceh Jaya-Aceh Barat untuk bersikap tegas dan tidak terkesan diam dengan adanya perihal upaya dari PT Prima Bara Mahadana akan melakukan ekspor batu bara ke negara India via Pelabuhan Calang yang berada di Desa Bahagia, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya.
[Foto: IST]
Seperti berita yang beredar saat ini bahwa Ekspor batubara perdana ke India melalui Pelabuhan Calang Aceh Jaya dengan kapasitas muatan sekitar 50.000 ton itu direncanakan akan dimulai pada akhir Oktober 2021.
Kepala Syahbandar Pelabuhan Calang melalui Pejabat Pembuat Komitmen Pelabuhan Calang, Azwana Amru Harahap membenarkan bahwa pihaknya sudah menerima laporan dari pihak owner selaku pemilik batubara bahwa kapal pengangkut batubara akan tiba di Calang pada tanggal 30 Oktober 2021 mendatang.
“Patut diketahui, saat ini sudah memasuki bulan sebelas tahun 2021, apakah mereka sudah melengkapi berbagai kelengkapan dokumen atau administrasi kebutuhan sebagaimana disyaratkan seperti tertuang di dalam aturan, jadi saya berharap kita beuk teunget dengan angin syurga,” ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Sabtu (6/11/2021).
Edy meminta agar pemerintah melakukan pengawasan secara optimal guna tidak memberikan peluang kepada pihak-pihak atau oknum tertentu yang bermain dalam hal ini yang kemudian menguntungkan secara finansial, namun memberikan dampak buruk bagi negara terutama daerah penghasil.
Hal ini karena menyangkut dengan proses perizinan UKL-APL dan juga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) yang sejatinya sudah dipersiapkan dari awal dan tidak lagi dalam proses pengurusan izin yang belum siap sedia namun proses pengiriman ekspor sudah berlangsung.
Kata Edy hal ini merujuk kepada Amdal peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang kriteria perubahan usaha dan/atau kegiatan dan tata cara perubahan izin lingkungan.
Kenapa hal ini harus dibicarakan dari awal, karena ini menyangkut dengan dampak dari proses bongkar muat di pelabuhan tersebut.
Bahkan jika diilihat dari aturan untuk izin usaha stockpile, ini mengacu kepada Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan, maka bila tidak dilakukan, perusahaan tersebut jelas telah mengangkangi semua aturan tentang tambang.
“Ini jelas ya seperti IUP-OP yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 23/2010) sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012,” ujar Edy.
Edy juga melihat ada banyak hal yang harus diselesaikan dan harus diclearkan terlebih dahulu. Persoalan lain yang muncul adalah bagaimana izin lingkungan yang dikeluarkan oleh kabupaten penghasil dan juga jalan yang dilalui.
Kalau kemudian nantinya memakai jalan negara atau daerah, maka ini juga akan menimbulkan persoalan baru lagi, dimana jalan yang dipakai adalah milik fasilitas umum seperti yang di utarakan oleh Wakil Ketua DPRK Aceh Barat bersama dengan Ketua DPRK Aceh Barat meninjau lokasi aktifitas penambangan batubara di Batu Jaya SP3, ini menyangkut dengan kompensasi bagi daerah, terutama jalur lintas jalan desa yang dilewati oleh truck pengangkut batubara.
“Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah soal daerah penghasil, ini untuk memastikan jumlah produksi dan hasil penjualan yang dilakukan oleh perusahaan yang berpotensi pada penerimaan dana bagi hasil untuk Kabupaten Aceh Barat sebagai daerah penghasil. Jangan sampai kabupaten Aceh Barat kecolongan dalam proses pengiriman menuju India melalui Kabupaten Aceh Jaya,” tegasnya.
Sementara di tingkat provinsi lanjutnya, kembali ditegaskan bahwa jangan sampai hal ini berkaitan seolah-olah kewenangan pengurusan tambang adalah hak pusat, padahal kita memiliki kewenangan sebagaimana surat Mendagri Tentang Kewenangan Pertambangan Aceh. Dengan merujuk PP No 96/2021 yang merupakan turunan dari UU 3/2020 tentang Minerba.
“Untuk itu kami juga meminta agar Pemerintah Aceh melalui dinas ESDM Aceh dan Inspektur Tambang berupaya untuk segera melakukan inspeksi ke lapangan guna menelurusi proses perizinan yang dilakukan oleh PT. Prima Bara Mahadana,” tambahnya lagi.
“Hal yang harus digarisbawahi, kita tidak anti dengan investasi, untuk itu bahwa proses perizinan terutama menyangkut dengan pertambangan semua harus mengacu kepada aturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara sederhana, saya ingin menegaskan bahwa persyaratan lingkungan tersebut menyebutkan dua hal, pertama yaitu pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kedua persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” pungkasnya.