Dr Saiful Mahdi, Melepas Kebahagiaan Demi Memperjuangkan Kebebasan
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
Istri Dr Saiful Mahdi, Dian Rubianty. Foto [tangkapan layar]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Dr Saiful Mahdi kini telah menjalani eksekusi pidana atas kasus pencemaran nama baik yang disangkakan kepadanya.
Istri Dr Saiful Mahdi, Dian Rubianty juga mengantar suaminya ke Kejaksaan Negeri Banda Aceh untuk menjalani eksekusi kasus pencemaran nama baik, Kamis (2/9/2021) siang.
Di depan gedung Kejaksaan, Dian Rubianty menceritakan bagaimana sosok Saiful Mahdi sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya dan sebagai masyarakat merdeka di lingkungan sosial.
Berawal pada tanggal 2 September 2019 sejak Saiful Mahdi ditetapkan sebagai tersangka, Saiful dan istrinya membawa kabar duka tersebut untuk disampaikan kepada anak-anaknya.
Kabar duka tersebut Saiful sampaikan kepada anak-anaknya dengan cara tidak membenarkan diri. Saiful menyuruh anak-anaknya membaca kronologis kasus yang melilitnya dan kemudian meminta mereka untuk memutuskan sendiri sebagai individu yang dewasa dan merdeka.
Dalam kehidupan berumah tangga, Saiful dan anaknya sudah terbiasa menjalin sistem demokratis, dimana anak-anaknya dibolehkan untuk tidak sependapat dengan ayahnya apabila bertentangan pemahaman.
Sedari kecil, Saiful juga mengajak anak-anaknya untuk berpikir, mengajak melihat nilai-nilai kebaikan bahkan mengajarkan kemampuan dedikasi pikiran.
Setiap harinya, Saiful terbiasa bertanya, what do you thing, how if, how bad, how good kepada anaknya. Kebiasaan itu membuat anak-anaknya kini terbiasa menakar kemampuan dedikasi terhadap benar-salah tentang apa yang dipikirkan.
Semua diskusi yang disampaikan oleh Saiful ialah diskusi yang sifatnya demokrasi, egaliter dan sangat membangun hubungan kolegial ketika dia belajar mengajar dengan murid dan anak-anaknya.
Saiful juga sering meminta maaf apabila dia bersalah dengan muridnya, stafnya, dan juga pada anak-anaknya.
Saiful juga sosok yang menghindari konsep relasi subordinatif (atasan-bawahan). Dia sering membiarkan anak-anaknya, muridnya untuk menyampaikan pendapat dengan merdeka.
Namun, saat bicara masalah kejujuran dan kebenaran, Saiful bisa sangat tegas dan otorikatif.
Saiful selalu bilang, when you come to Allah and Rasulullah, when you come to our religion, itu tidak ada diskusi. Karena kelak ia akan ditanya Allah dan akan mempertanggungjawabkan perannya sebagai pengajar dan juga seorang ayah.
Dua tahun lalu pasca Saiful divonis tersangka, pihak keluarga dan Dian (istri Saiful Mahdi) pernah menaruh harapan terutama saat pemerintah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) pedoman UU ITE.
Karena dalam SKB tersebut terdapat butir yang menegaskan, "bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas."
Namun, Dian mengatakan, SKB pedoman UU ITE ini juga ditolak saat upaya banding dan kasasi yang dilakukan. Berdasarkan pengakuan Dian, penolakan ini juga menjadi pukulan luar biasa bagi dirinya dan juga keluarganya.
Ssbelum menjalani hukumannya dibalik jeruji, Saiful juga meninggalkan seorang ibu yang sudah renta di rumah. Ibu Saiful mengindap pengakit Demensia, yaitu sebuah penyakit dimana penderitanya mengalami kemerosotan dalam berpikir dan mengingat.
Dian yang mengingat ibu kandung Saiful di rumah mulai meneteskan air mata. Dian tak kuasa memikirkan apakah ibu Saiful bisa tertidur lelap malam ini.
Dengan penyakit Demensia yang dideritanya, ibu Saiful hanya bisa mengingat orang-orang terdekatnya saja. Kebetulan juga, menjelang waktu tidur, Saiful sendiri yang selalu menggotong ibunya ke tempat tidur.
Sejak Senin kemarin saat surat panggilan dari Kejaksaan disampaikan, anak bungsu Saiful juga mendadak demam tinggi. Dian menduga demam yang dialami anaknya itu karena umurnya yang masih kecil atau tidak mampu mengartikulasi kejadian yang dialami ayah dan ibunya.
Dalam keadaan demam, si bungsu mendekap dalam pelukan ayahnya dan berkata, "Ayah, you have to be strong, you have to be brave," tutur Dian mengikuti perkataan anaknya.
Dari Senin hingga Rabu kemarin, Saiful Mahdi masih aktif menjalankan proses belajar mengajar dengan mahasiswa.
Bahkan pada Kamis pagi tadi, Saiful masih sempat menyampaikan orasi untuk memperingati Hari Pendidikan Daerah (Hardikda).
Menjelang siang, untuk memenuhi panggilan Kejaksaan, Saiful berpamitan dengan anak-anaknya.
Dian mengatakan, tidak ada satu pun anaknya yang menangis walaupun di rautan wajahnya Dian melihat anaknya berusaha keras menyembunyikan kesedihan untuk meneteskan air mata.
Anak-anaknya berkata kepada Dian, mereka tidak bisa menangis agar ayahnya berani dan bisa tegar menjalani kehidupan tanpa kehadiran mereka.
Mendengar pernyataan anak-anaknya itu, Dian mengingatkan bahwa tanah yang keluarganya duduki ini merupakan Indonesia. Tanah yang merdeka. Menangis tidak dilarang, menangis bukan sifat lemah, dan kita boleh menangis jika kita sedih.
"Tuangkan emosimu, kamu tidak boleh menahan emosimu. Karena dari itulah kemerdekaan dulu diperjuangkan. Karena itulah bapak-bapak pendiri negeri ini meletakkan kebebasan berpendapat dalam konstitusi," kata Dian.
"Tidak peduli rezim mana pun yang berkuasa di negeri ini, kebebasan berpendapat harus kita perjuangkan," sambung Dian menasehati anak-anaknya.
Tak ada untaian kata yang bisa menggambarkan bagaimana memilukan perpisahan yang dialami Saiful dan keluarganya.
Dian dan anaknya terenggut kebahagian dengan mengawali kepergian sesosok ayah yang begitu dekat dengan anak-anaknya.
Dian berkata, sebanyak apapun uang atau seberapa besar jumlah rupiah yang dimiliki, tak ada satu pun yang bisa menggantikan perasaan yang dialami anak-anaknya dan anak dari korban UU ITE.
Dian menegaskan, cukup keluarganya yang menjadi korban UU ITE, jangan sampai kasus serupa dialami oleh keluarga-keluarga yang lain.
Penguasa melalui kekuasaan membangunkan moril tinggi untuk rakyatnya. Namun, saat rakyatnya membutuhkan negara tidak hadir. Hal itulah yang menimpa Saiful Mahdi dan keluarganya hari ini. [akh]