DPRA Minta Gubernur Aceh Nyatakan Sikap Keberpihakan Pilkada Aceh 2022 atau 2024
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Ketua Komisi II DPRA, Irpannusir. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Komisi II DPRA, Irpannusir minta seluruh rakyat Aceh satu suara dalam menggelorakan semangat Pilkada Aceh secara serentak di tahun 2022.
Ia menjelaskan, perjuangan Pilkada Aceh tahun 2022 ini berhubungan erat dengan marwah Undang-Undang Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA).
Adapun jika Pilkada Aceh tahun 2022 ternyata batal, ia mengimbau seluruh warga Aceh untuk memboikot Pilkada 2024.
Irpannusir menjelaskan, jika Pilkada Aceh dilaksanakan di tahun 2024, maka penunjukan Pejabat (PJ) Gubernur Aceh sebagai pengganti gubernur sementara hingga proses Pilkada tahun 2024 digelar, maka akan memakan waktu yang sangat lama bagi rakyat Aceh dalam menunggu.
Ia khawatir selama Kepemerintahan Aceh di PJ kan, nasib kesejahteraan rakyat Aceh menjadi rawan dan rentan.
"Di tingkat definitif saja, kepemerintahan Aceh sekarang ini sudah amburadul apalagi jika nanti sempat di PJ kan," ujar Irpannusir saat dihubungi Dialeksis.com, Senin (1/2/2021).
Irpannusir mengkhawatirkan hal itu terjadi. Oleh karena itu, ia meminta rakyat Aceh terutama jajaran legislatif dan eksekutif untuk bersatu suara memperjuangkan Pilkada Aceh secara serentak di tahun 2022.
Selain itu, Irpannusir berharap Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengungkapkan kepada publik tentang keberpihakan dirinya terhadap Pilkada Aceh di 2022 atau 2024.
"Saya lihat suaranya hampir sama semua, pengamat misalkan, terus juga legislator yang dari DPRA, semua sama. Yang belum kita dengar itu suara eksekutif tapi paling tidak kita anggap saja sudah terwakili dari penyelenggara pemilu oleh KIP Aceh yang telah menetapkan jadwal Pilkada di Februari di 2022 itu," kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Irpannusir juga menantang Gubernur Aceh untuk bersuara kepada publik terkait Pilkada Aceh 2022.
"Pak gubernur juga harus bersuara atas nama rakyat Aceh yang menginginkan Pilkada di 2022. Itu yang lagi kita tunggu-tunggu. Tapi, berani nggak pak gubernur menyuarakan kepentingan rakyat Aceh ini," tegasnya.
Sementara itu, ia mengaku paham dengan kondisi Gubernur Aceh sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat yang menginginkan Pilkada di 2024. Akan tetapi, lanjut dia, ketika berbicara mengenai kepentingan rakyat Aceh, gubernur harus berpihak kepada rakyat.
Ketua Komisi II DPRA itu menyebutkan sudah ada banyak sekali kekhususan Aceh yang digerogoti pihak pusat, misalnya seperti UU Minerba yang dikeluarkan pemerintah pusat yang meminta segala kewenangan daerah tentang pengelolaan pertambangan mineral dan batubara untuk dikembalikan kepada pusat.
Padahal Aceh, kata dia, punya UU khusus yang mengatur kewenangan Pemerintah Aceh untuk mengelola sendiri pertambangan-pertambangan itu.
Hal-hal seperti itulah yang membuat Irpannusir khawatir. Ia mengaku tidak ingin regulasi kekhususan Aceh yang lainnya ikut terpangkas juga dengan kebijakan pemerintah pusat.
"Walaupun kompensasi MoU Helsinki atau UUPA merupakan gratifikasi dari Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia, paling tidak Aceh sudah diakui. Dan kalau perjanjian itu tidak ditepati pemerintah pusat, maka kepercayaan rakyat Aceh kepada pusat akan luntur kembali," sebut dia.
Dengan Undang-Undang kekhususan Aceh, Irpannusir meminta seluruh jajaran kepemerintahan Aceh untuk menjaga supaya kekhususan itu tidak ternodai. "Bila perlu kita diperkuat lagi," katanya.
Sebelum menutup obrolan singkat dengan wartawan Dialeksis.com, Irpannusir kembali pertanyakan keberpihakan Gubernur Aceh terkait Pilkada di Aceh. Karena sepengatahuan dirinya, Gubernur Aceh belum berkomentar secara terbuka kepada publik terkait proses pelaksanaan Pilkada Aceh secara serentak di tahun 2022 atau 2024.
"Kita pengin dengar suara dari pak gubernur selaku eksekutor tertinggi di Aceh. Kita belum dengar statementnya, apakah beliau menginginkan skema di 2024 ikut pemerintah pusat atau menyuarakan suara rakyat Aceh di 2022," pungkasnya.