Jum`at, 01 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Dosen USK Sebut Teumenak di Medsos Perlu Ditangani Lewat Pendidikan Moral

Dosen USK Sebut Teumenak di Medsos Perlu Ditangani Lewat Pendidikan Moral

Kamis, 31 Juli 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Subhayni, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Syiah Kuala sekaligus Sekretaris UPT-MKU USK. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fenomena penggunaan bahasa kasar atau yang dalam bahasa Aceh dikenal dengan teumenak kini kian marak menghiasi layar-layar TikTok, Instagram, dan platform daring lainnya.

Menurut Subhayni, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Syiah Kuala sekaligus Sekretaris UPT-MKU USK, gejala ini bukan sekadar soal pilihan kata melainkan pertanda krisis identitas budaya dan kedangkalan nilai keagamaan.

“Anak muda yang dekat dengan agama akan menjaga aturan bergaul dan berbahasa. Bahasa yang mereka pilih adalah bahasa yang bernuansa nilai-nilai agama.” tegas Subhayni kepada Dialeksis.com, Kamis (31/7/2025).

Ia mengingatkan bahwa dalam ajaran agama, bahkan berucap dua huruf kasar kepada orang tua seperti “ah” atau “uh” pun sudah dianggap tidak pantas.

Maka, ketika bahasa makian dan doa buruk dipertontonkan secara terang-terangan di media sosial, sesungguhnya telah terjadi pergeseran nilai yang serius.

Istilah teumenak sendiri merujuk pada praktik berkata kasar, menyumpah, atau mencela dalam bahasa Aceh. Kata-kata yang sebelumnya hanya terdengar di warung kopi atau lapangan bola, kini menjadi konten viral.

Dalam banyak kasus, remaja atau anak muda melakukannya sambil tertawa, bahkan beradegan seperti sedang melawak. Namun, di balik kelucuan itu, ada dampak yang tidak sepele.

“Bahasa itu bukan hanya alat komunikasi. Ia adalah cerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketika bahasa kasar menjadi biasa dan bahkan dirayakan, kita sedang menghadapi degradasi nilai.” jelas Subhayni.

Menurutnya, fenomena ini tidak lahir dalam ruang kosong. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya seperti lingkungan, keluarga, teknologi, bahkan algoritma media sosial.

Ketika remaja tidak mendapatkan bimbingan moral di rumah, tidak dekat dengan guru atau Tgk. di dayah, serta tidak memiliki panutan dalam bermedia sosial, maka bahasa menjadi liar.

Subhayni mengidentifikasi bentuk utama dari bahasa kasar yang sering muncul dalam teumenak seperti makian, Kata-kata yang merendahkan atau menghina seseorang, sering kali merujuk pada tubuh atau hal-hal yang dianggap tabu dalam budaya Aceh.

Selain itu, ada kutukan sebagai ucapan yang berisi harapan agar seseorang celaka atau tertimpa musibah. Sering dikaitkan dengan tradisi lisan lama dan mitos dan yang terakhir ada doa Buruk sebagai ucapan yang menyerupai doa namun mengandung harapan penderitaan bagi orang lain.

“Bahasa kasar bisa saja dianggap sebagai pelepasan emosi, bentuk protes, atau bahkan pencarian identitas. Tapi jika dibiarkan, itu bisa merusak relasi sosial dan menormalisasi kekerasan verbal.” tambahnya.

Subhayni mendorong bahwa peran orang tua dan guru sangat sentral dalam membentuk kesadaran berbahasa anak muda. Bahasa, menurutnya, dibentuk dalam ruang privat seperti rumah, sebelum kemudian berkembang di ruang publik seperti sekolah dan media sosial

“Ayah ngon Poma, keulhe ngon guree, urengnyan ban le beu tapemulia. Anak muda Aceh harus biasa memuliakan orang-orang dengan menggunakan bahasa yang baik, benar, dan santun.”

Pendidikan bahasa di sekolah, menurutnya, harus lebih dari sekadar tata bahasa atau sastra. Ia harus menyentuh kesadaran nilai, membentuk rasa malu ketika menggunakan kata-kata kasar, dan menanamkan rasa bangga terhadap tutur kata yang santun.

Dalam algoritma media sosial, konten yang meledak tidak selalu bermutu. Subhayni mengkritik bagaimana sistem media digital saat ini cenderung memberikan panggung besar bagi yang paling nyeleneh, bukan yang paling beradab.

“Ketika anak muda kita melihat bahwa video dengan kata kasar mendapatkan ratusan ribu likes, itu akan jadi standar baru. Padahal, kita sedang menciptakan ruang publik digital yang penuh kekerasan verbal," ujarnya.

Ia pun mengajak masyarakat Aceh, terutama kalangan terdidik dan tokoh agama, untuk tidak tinggal diam. Edukasi literasi digital, pembinaan moral, dan penguatan identitas budaya Aceh yang santun harus berjalan beriringan.

"Kalau kita ingin Aceh yang damai, mulailah dari lisan yang damai. Kalau kita ingin Aceh yang beradab, mulailah dari kata-kata yang penuh adab," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
hari lahir pancasila