kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Dosen UNAS Wanti-wanti Jangan Sampai Masyarakat Terjebak ‘Serangan Fajar’ di Pemilu 2024

Dosen UNAS Wanti-wanti Jangan Sampai Masyarakat Terjebak ‘Serangan Fajar’ di Pemilu 2024

Selasa, 27 September 2022 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky

Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta (UNJ), Sahruddin Lubis. [Foto: ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta (UNAS), Sahruddin Lubis sampaikan, jangan sampai masyarakat terjebak dalam vote buying pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. 

Ia menyampaikan, politik penting dalam masyarakat, karena politik mempengaruhi hamper keseluruhan dari kehidupan masyarakat mulai dari pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan lapangan pekerjaan. Semua ini berhubungan dengan politik, terutama yang berhubungan dengan politik kebijakan (public policy).

Apalagi Indonesia akan jelang Pemilu 2024 mendatang, maka politik dalam masyarakat perlu untuk menentukan kepemimpinan baik di ranah eksekutif maupun legislatif.

Bahkan juga untuk level yang lebih rendah seperti kepala desa yang memang dipilih secara langsung oleh masyarakat, penting bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses-proses politik tersebut. Namun masyarakat perlu belajar dari Pemilu sebelumnya terkait dengan pilihan terutama, tidak asal asal memilih, karena kalau asal memilih maka bisa saja calon yang dipilih tidak maksimal kinerjanya saat menjabat nanti.

Ia menjelaskan, memang dari segi partisipasi secara keseluruhan naik dibandingkan dengan pesta demokrasi pada Pemilu sebelumnya, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 memang menunjukkan angka yang lebih besar. Tak tanggung-tanggung, kenaikan partisipasi bahkan mencapai 5 persen lebih.

Berdasarkan data yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mencapai 81,97 persen. Sementara itu, tingkat keikutsertaan pemilih pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 menyentuh 81,69 persen. Partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 awalnya ditargetkan sebesar 77,5 persen.

Tetapi katanya, harus juga melihat kinerja dari pilihan selama 5 tahun belakangan ini, apakah mereka terbuat maksimal untuk kepentingan rakyat? Apakah mereka benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui program yang pro terhadap masyarakat? terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan juga rasa aman.

"Yang tidak kalah penting apakah mereka terlibat korupsi atau tidak, mereka sibuk dengan urusan pribadi seperti memperkaya diri atau kelompok," ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Selasa (27/9/2022).

 Agar pemilu 2024 menghasilkan pemimpin dan wakil yang pro masyarakat, maka perlu bagi masarakat untuk memperhatikan pilihan yang tepat, melihat track record dari calon. Kalau yang sudah pernah menjabat maka masyarakat perlu meperhatikan bagaimana kinerja selama ini.

Mungkin kalau masyarakat awam cenderung berdasarkan preferensi, apakah preferensi dari tokoh masyarakat, keluarga dekat, atau merupakan pemilih tradisional. Bahkan sebagian masyarakat kita menjadi bagian dari korban vote buying, masyarakat memilih berdasarkan siapa yang bayar, partai mana yang bayar.

"Ini tentu tanggungjawab semua pihak untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat agar tidak ikut dalam lingkaran vote buying, tidak mudah disuap oleh partai atau calon," ujarnya.

Ia juga menambahkan, pemerintah, KPU, Bawaslu dan dunia pendidikan harus ambil bagian dalam penyadaran masyarakat, sehingga perpolitikan kita tidak tersandara oleh transaksi politik uang yang nantinya berimbas kepada masyarakat.

Hal ini dikarenakan yang namanya calon pasti mereka ingin balik modal, sehingga program-program yang muncul nanti bukan yang pro masyarakat, tetapi pro terhadap kepentingan segelintir elit.

"Jadi kita harus ambil bagian dalam upaya mencegah transaksi politik uang (vote buying)," tutupnya.[AR]


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda