Diskes Belum Terbitkan SK Bidan yang Ingin Mengabdi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Takengon - Dinas Kesehatan Aceh Tengah belum mengeluarkan SK kepada para bidan yang ingin mengabdi di sejumlah polindes. Para bidan ini sudah membuat surat pernyataan, mereka siap menjadi tenaga bakti.
Para bidan ini, dalam surat pernyataanya menyatakan siap menjadi Tenaga bakti di Polindes yang ada di desa mereka. Bahkan bagi yang belum berkeluarga, surat pernyataan itu turut ditanda tangani oleh orang tua mereka.
"Kami menunggu SK ketetapan dari Dinas Kesehatan Aceh Tengah," sebut salah seorang bidan yang enggan jati dirinya disiarkan menjawab Dialeksis.com, Senin (10/9/2019).
"Benar mereka sudah membuat surat pernyataan ingin mengabdi sebagai tenaga bakti. Ada sekitar 50 Polindes di Aceh Tengah yang di Aceh, tenaga kesehatanya masih kosong," sebut Jayusman, Kadis Kesehatan Aceh Tengah, ketika dikonfirmasi Dialeksis, secara terpisah.
Dari 291 desa yang ada di Aceh Tengah, jelasnya, hanya 200 tenaga bidan (medis) dari PNS yang sudah mengisi polindes. Selebihnya merupakan tenaga honor. Persoalan tenaga honor atau bakti ini, ada hal yang esensial yang harus dipertimbangkan.
Dasar pertimbangan itu, sebut Jayusman, membuat pihaknya belum mengeluarkan SK tenaga bakti ini. Semuanya menyangkut dengan dana, dan kemampuan daerah dalam menetapkan SK seseorang.
"Daerah tidak punya uang untuk mengangkat tenaga bakti," sebutnya," sementara kebutuhan untuk polindes, demi melayani masyarakat, memang sangat dibutuhkan".
"Awalnya memang ada pernyataan yang menyebutkan mereka ihlas mengabdi tanpa mendapatkan honor. Namun lama kelamaan, kan hal itu tidak mungkin dipertahankan. Masak orang sudah honor bertahun tahun, tidak mendapat honor," sebut Jayusman.
Tidak diberikan gaji, atau honor, juga nantinya akan menjadi persoalan. Tenaga medis yang sudah mengabdi, masak uang lelahnya sedikitpun tidak diberikan daerah. Minimal harga minyak, atau buat minum mereka.
"Katakanlah satu orang, honornya Rp 400 ribu saja perbulanya, dalam setahun tentunya menghabiskan dana Rp 4,8 juta. Bagaimana kalau 100 orang? Nilainya mencapai Rp 480 juta pertahun, itu kalau 100 orang dan hanya Rp 400 ribu perbulan," sebut Jayusman.
Dengan nilai honor yang relatif rendah ini saja, jelasnya, belum diketahui bagaimana jalan keluarnya, bila nanti ada yang menuntut honor. Kalau tidak diberikan honor, kita juga bakal dipersalahkan, memperkerjakan tenaga medis, namun tidak diberikan apa- apa.
"Mungkin ada jalan keluar yang baik," sebut Jayusman," kami sedang mempelajarinya. Misalnya tenaga bakti itu uang lelahnya ditanggung oleh desa tempat mereka mengabdi. Atau para tenaga bakti ini membuat pernyataan, tidak akan meminta imbalan gaji. Mereka ihlas mengabdi".
Namun bila diminta bantuan kepada desa tempat mereka tinggal, apakah desa akan mampu? Bila ada yang mampu Alhamdulillah, namun bila tidak, kan akan menjadi persoalan nantinya.
Selain persoalan keuangan desa, jelasnya, juga ada persoalan nantinya bila kemudian hari, ketika kepala kampung yang menjamin honor itu tidak lagi menjabat. Dan ada keinginan dari pihak lainya, untuk mengganti tenaga bakti ini.
Sementara para tenaga bakti ini menginginkan legalitas pengabdianya, ada SK dari Dinas Kesehatan, sebagai pegangngan mereka. Dimana bila kelak surat SK itu dibutuhkan akan ada kekuatan bagi mereka yang telah mengabdi.
Namun ketika desa dijabat oleh pejabat yang lain dan ada upaya mengganti tenaga medis di sana, kan akan memunculkan persoalan yang baru. Formula ini yang sedang kami pelajari, agar persoalan tenaga medis di Polindes dapat segera teratasi, jelasnya.
"Kami belum mengeluarkan SK, karena persoalan ini. Bagaimana baiknya, sedang kami pertimbangkan. Karena ini semuanya bermuara kepada keadaan keuangan daerah, makanya SK itu belum ditanda tangani," sebut Jayusman.
Untuk tenaga honor dari berbagai dinas yang sudah di SK kan, jumlahnya cukup banyak, ribuan. Anggaran untuk honor mereka juga tebilang besar, setiap tahunya nilai yang harus disiapkan daerah mencapai Rp 6 atau Rp 7 miliar. (baga)