Direktur AI: Perempuan Harus Punya Nalar Kritis Bukan Hanya Pelengkap Kuota
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Muazzinah Yacob. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Eksekutif The Aceh Institute (AI), Muazzinah Yacob mengatakan konteks kebijakan publik saat ini, perempuan lebih dilihat secara kuantitas partisipasi bukan kualitas.
"Banyaknya regulasi atau qanun yang tidak sensitive gender akan memberi peluang besar indeks ketimpangan gender,” jelasnya dalam diskusi publik bertemakan "Nalar Kritis Perempuan Aceh Terhadap Pembangunan", yang diselenggarakan via Zoom, Kamis (21/4/2022).
Lanjut Muazzinah, perempuan juga harus punya nalar kritis terhadap apa yang menjadi hak dan kewajibannya, bukan hanya hadir sebagai pelengkap kuota.
Bahkan, Muazzinah mencontohkan, Qanun Kota BNA Nomor 7 tahun 2002 yang mengatur tata cara pemilihan Keuchik, dimana disebutkan terdapat syarat mampu bertindak menjadi imam shalat.
“Jika dikaitkan dengan perempuan, dalam konteks kebijakan publik hal itu sangat diskriminasi karena kita tahu perempuan hanya bisa jadi imam untuk kaumnya sendiri,” terangnya.
Selain itu, lanjutnya, masih banyak hal-hal lainnya yang isi dari kebijakan publik itu sendiri tidak melihat hadirnya perempuan di Aceh.
Muazzinah menjelaskan dalam hal berbicara kebijakan publik pasti berkaitan dengan perencanaan, penentuan keputusan, implementasi dan monev.
Dalam perencanaan, contoh di Musrenbang, peserta telah diberi tahu lebih awal dan adanya bahan informasi awal. (data terpilah laki-laki dan perempuan)
Menurutnya, tidak masalah jumlah perempuan yang hadir itu sedikit, tetapi dia bersama lelaki yang hadir paham apa sebenarnya kebutuhan perempuan.
“Kita nggak bicara kuantitas yang hadir tapi kualitas apa yang dibicarakan dalam kebijakan publik. Tapi hari ini, fenomena di Musrenbang itu selalu diukur dengan jumlah yang hadir, bukan kualitas,” jelasnya lagi.
Ia menambahkan, banyak sekali penentuan keputusan itu tidak sensitive gender, artinya pengeksekusi keputusan itu lebih dominan kepada kaum lelaki.
Contoh saja, jumlah DPR Aceh saja dari 81 hanya 9 perempuan. Bupati dari 18 Kabupaten tidak ada satupun Bupati perempuan di Aceh.
“Dari sini saja, bisa dilihat bahwa dalam mengeksekusi kebijakan publik akan lebih cenderung untuk adanya regulasi yang memang tidak sensitive gender,” terangnya.
Pada akhirnya, tahap Monitoring dan evaluasi menyebabkan peluang partisipasi perempuan menjadi sia-sia, mengingat minimnya delegasi perempuan dalam memperjuangkan usulan yang telah disampaikan. Hal itu tidak sesuai dengan semangat partisipasi masyarakat yang dituangkan dalam UU No.25/2004 tentang SPPN (mengoptimalkan partisipasi).
Menurutnya, penyebab dari hal tersebut bisa terjadi karena adanya pelabelan sifat-sifat tertentu (stereotipe), pemiskinan ekonomi terhadap perempuan, subordinasi pada salah satu jenis kelamin yaitu perlakuan menomorduakan perempuan.
"Selain itu, adanya tindak kekerasan (violence) terhadap perempuan, budaya patriarki yang berkembang di masyarakat, hingga terdapat perempuan yang "melegalkan" hal-hal demikian," tuturnya. [NOR]