kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Dinilai Cacat Hukum, Koalisi NGO HAM Aceh Minta Jokowi Cabut Keppres Pemberhentian Irwandi Yusuf

Dinilai Cacat Hukum, Koalisi NGO HAM Aceh Minta Jokowi Cabut Keppres Pemberhentian Irwandi Yusuf

Rabu, 21 Oktober 2020 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh, Muhammad Reza Maulana, SH. [IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh, Muhammad Reza Maulana, SH menyampaikan, Pengesahan pemberhentian Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh dan mengangkat Nova Iriansyah sebagai Gubernur defenitif dipandang keliru dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta melangkahi hukum.

Hal ini setelah mendengar berita di berbagai media terkait terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 95/P Tahun 2020 tentang Pengesahan pemberhentian Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh dan mengangkat Nova Iriansyah sebagai Gubernur defenitif.

"Kami melihat Keppres tersebut telah melangkahi hukum yang seharusnya ditaati, pemberhentian gubernur karena adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, hanya dapat dilakukan pada saat telah terbitnya Putusan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan tingkat Kasasi untuk selanjutnya dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan tersebut," jelasnya melalui rilis yang diterima Dialeksis.com, Rabu (21/10/2020).

"Hari ini apabila kita perhatikan, ternyata sumber utama Irwandi dinyatakan bersalah dengan Putusan MA hanya diperoleh dari informasi yang dilihat dari Website www.kepaniteraan.mahkamahagung.go.id sedangkan salinan putusan/petikan putusan sampai dengan hari ini 20 Oktober 2020 belum dikirim ke Pengadilan Pengaju yaitu PN Jakarta Pusat," tambahnya.

Ia melanjutkan, dalam Hukum Acara Pidana bagaimana seseorang dapat dinyatakan bersalah berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (ingkrah), harus didahului dengan adanya Putusan MA yang diterima pengadilan pengaju kemudian disampaikan kepada Terdakwa/Penasihat Hukum dan Jaksa Penuntut Umum baru kemudian dapat dieksekusi.

"Namun dilihat di Website MA tersebut pada kolom 'dikirim ke pengadilan pengaju' masih kosong, artinya dapat dipastikan MA belum mengirimkan Salinan Putusan/Petikan ke PN Jakarta Pusat untuk diserahkan kepada Terdakwa/Penasihat Hukunya dan Jaksa Penuntut Umum," ungkap Reza.

Walaupun di dalam Website tersebut telah disebutkan, Perkara Nomor 444 K/Pid.Sus/2020 telah putus pada tanggal 13 Februari 2020, namun selama belum disampaikan Salinan/Petikan Putusan oleh MA ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maka Putusan tersebut belum dapat dinyatakan ingkrah.

"Sehingga Keppres tersebut tidak sah secara hukum karena tidak diterbitkan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku," jelas Reza.

"Tunggu sampai Putusan Ingkrah, baru terbitkan Keppres kemudian silahkan dieksekusi oleh DPRA setelah Keppres yang dibuat disampaikan ke DPRA beserta lampiran Petikan Putusan atau Putusan," tambahnya.

Pihaknya menyarankan agar DPRA menyurati kembali Presiden dan menanggapi, menyatakan bahwa Keppres tersebut tidak dapat dieksekusi karena perkara Irwandi Yusuf belum ingkrah sampai dengan hari ini.

"Jadi menurut kami Pembahasan baik melalui Bamus maupun Paripurna harus membahas terlebih dahulu Kepres ini sah atau sesuai tidak dengan ketentuan yang ada, bukan langsung bicara tentang pelantikan," ungkap Reza.

"Karena ingat Keputusan DPRA sebagai lembaga pembuat Hukum harus berkesuaian hukum dan terhadap keppres tersebut harus ditelusuri kenapa bisa terbit sedangkan Salinan/Petikan Putusannya saja tidak ada," tambahnya.

Ia melanjutkan, jadi bersasarkan Hukum Acara Pidana Irwandi belum dapat dinyatakan bersalah, sehingga Pelantikan belum dapat dilaksanakan, maka kami meminta DPRA untuk menunda Pelantikan sampai adanya Putusan Ingkrah dari Mahkamah Agung.

"Kemudian terhadap Keppres tersebut yang dinilai cacat hukum harus ditempuh upaya hukum jika Presiden tidak mencabut keputusan tersebut. Artinya DPRA harus mengkaji, menganalisa dan bersikap tegas karena ini menyangkut rakyat Aceh sehingga DPRA tidak boleh mengambil posisi sebagai Aparatur Presiden melainkan sebagai Wakil Rakyat yang mewakili segenap Rakyat Aceh," jelasnya.

"Sebagai contoh kecil saja kami sampaikan, bila seseorang diputus bebas oleh pengadilan tingkat pertama kemudian terdakwa harus segera dilepaskan dari tahanan, kemudian putusan tingkat banding menguatkan putusan tingkat pertama sehingga Terdakwa tetap berstatus Bebas diluar Penjara, kemudian lagi ditingkat kasasi diterbitkan Putusan bahwa Terdakwa bersalah dan dihukum, pertanyaannya adalah kapan Terdakwa tersebut dihukum dan dimasukkan kembali ke dalam Penjara/LP," ujarnya.

Dan berdasarkan Hukum Acara Pidana, lanjut Reza, setelah Jaksa Penuntut Umum menerima salinan Putusan dari Pengadilan asal, maka sejak saat itulah Jaksa berkewajiban untuk menjemput kembali terdakwa dan memasukkannya ke dalam LP.

"Jadi ingkrah jangan dilihat dari website, karena web hanya bentuk kecepatan informasi, karena secara prosedural ingkah haruslah diterima langsung oleh Pengadilan Pengaju dan Para Pihak sehingga Putusan tersebut dapat dieksekusi," jelasnya.

"Jadi kami meminta pula kepada Presiden RI demi tertip hukum dan melaksanakan hukum dengan benar baik formil maupun materil untuk mencabut kepres tersebut dan menunggu sampai dengan Putusan terhadap Mantan Gubernur Aceh turun dari Mahkamah Agung Republik Indonesia ke Pengadilan Pengaju," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda