Dilema Legalisasi Ganja di Indonesia, Begini Kajian Konselor Rehabilitasi di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Praktisi rehabilitasi asal Aceh, Dr Syafrilsyah Syarief MSi. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ganja untuk kebutuhan medis menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Wakil Presiden Republik Indonesia KH Ma’ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar mengkaji dan menyiapkan fatwa untuk penggunaan ganja sebagai alternatif pengobatan dalam dunia medis.
Sontak hal tersebut menimbulkan berbagai macam reaksi, ada yang mendukung ada juga yang tidak. Namun yang perlu dikritisi disini ialah bagaimana penilaian masyarakat terhadap tumbuhan yang dilarang penggunaannya itu.
Bila legalisasi ganja terwujud di Indonesia, imbas seperti apa yang akan dihadapkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Dalam konteks Provinsi Aceh, dampak seperti apa yang akan dirasakan.
Karena bicara legalisasi ganja, ikut beririsan dengan berbagai macam sektor, baik secara sosio-ekonomi seperti legalnya ladang ganja, kesehatan masyarakat dalam konotasi positif maupun negatif, dinamika politik dan lain-lain.
Mengkaji polemik tersebut, Dialeksis.com kemudian menghubungi salah seorang praktisi rehabilitasi asal Aceh. Ia adalah Dr Syafrilsyah Syarief MSi yang bertugas menjadi konselor di beberapa tempat rehab narkotika.
Syafrilsyah mengatakan, usulan Wapres KH Ma’ruf Amin yang meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa terhadap penggunaan ganja untuk medis merupakan langkah yang sangat gegabah. Karena bila tidak ditangani secara komprehensif, maka akan menimbulkan banyak masalah baru ke depan.
Kondisi hari ini, kata dia, khususnya di Aceh, lembaga rehabilitasi sedang menjerit. Soalnya, untuk merehab satu orang saja, biayanya bisa ditaksir mencapai Rp 4 juta per bulan. Sementara treatment (terapi) untuk pecandu agar bisa kembali secara normal minimal membutuhkan waktu delapan hingga sepuluh bulan lamanya.
“Kalau orang kaya, ya mampu. Tapi kalau yang kena narkotika adalah orang miskin, terpaksa negara yang mensubsidi sebagiannya. Jadi cukup besar efek kerugian ketika seorang pecandu narkotika kita rehab,” ujar Safrilsyah kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Kamis (30/6/2022).
Oleh sebab itu, Safrilsyah cukup mewanti-wanti bila ganja sempat dilegalkan, karena dikhawatirkan akan meningkatkan pecandu narkotika di Indonesia.
Menurutnya, polemik beruntun dari diskusi ini bukanlah pada kesiapan lembaga rehab, tetapi dengan semakin banyaknya jumlah pecandu narkoba akan membuat praktisi rehabilitasi kewalahan. Soalnya anggaran rehabilitasi dari pemerintah cukup sedikit, sedangkan selebihnya dibebankan kepada keluarga yang bersangkutan.
“Keluarganya pun mungkin hanya siap sekitar tiga atau enam bulan. Kemudian jika orangnya dilepas dengan keadaan ‘belum sehat,’ maka akan mudah terkena lagi,” ungkap.
Dalam hal ini, kata dia, posisi lembaga rehab akan menjadi serba salah. Tidak menampung salah, ditampung juga tidak cukup biaya.
Bila “Dikunci” di Sisi Positif
Menurut Konselor rehabilitasi ini, seandainya regulasinya sudah siap, maka legalisasi ganja untuk kebutuhan medis tidak apa-apa. Akan tetapi yang menjadi konsern (kekhawatiran) dirinya ialah apakah Indonesia sudah siap menghadapinya.
Di saat muncul instruksi Wapres Indonesia yang meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa, menurut dia, hal yang harus diutamakan MUI ketika menerbitkan fatwa ialah berpedoman pada pertimbangan maqashid syariah.
Maqashid syariah ialah konsep kaidah yang mengatakan bahwa sesungguhnya syariah bertujuan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Bentuk maqashid syariah terbagi menjadi lima, diantaranya maqashid syariah untuk melindungi agama, untuk melindungi jiwa, untuk melindungi pikiran, untuk melindungi harta dan untuk melindungi keturunan.
Dalam konteks pembahasan ini, maqashid syariah untuk melindungi pikiran perlu menjadi tonjolan utama dalam kebijakan legalisasi ganja. Karena segala hal yang menyebabkan hilangnya akal menjadi tidak boleh, termasuk mengkonsumsi narkoba atau minuman keras.
“Seharusnya tidak gegabah. Harus dipikirkan akibatnya, juga dipikirkan secara matang kalau ini dikeluarkan oleh seorang pejabat publik. Wabil khusus MUI, mohon untuk dipertimbangkan matang-matang,” ucapnya.
Trend Pecandu Narkoba di Aceh
Berdasarkan ungkapan Safilsyah yang mengutip berbagai sumber, Provinsi Aceh ditetapkan sebagai salah satu daerah yang memiliki trend pecandu narkoba cukup tinggi. Bahkan saking tingginya pecandu di Aceh sampai disebut seperti fenomena gunung es.
“Kelihatannya saja kecil, padahal dasarnya kalau kita mau tahu, aduh, sudah sangat besar. Saya nggak kebayang kalau semakin dibebaskan lagi ke depan,” tuturnya.
Safrilsyah mengaku sudah cukup gerah dengan kondisi maraknya pecandu narkotika di Aceh. Ia bahkan menegaskan akan menolak fatwa MUI bila melegalkan ganja tanpa pertimbangan yang jelas.
“Kalau ada pernyataan datang dari MUI, mungkin saya akan menjadi orang yang menolak,” pungkasnya. (Akhyar)
- Wacana Ganja Medis Harus Disertai Kajian Komprehensif
- Terapi Sulit Stabilkan Harga TBS di Aceh, Persiapan dan Eksekusi Lapangan Jauh Berbeda
- DPR RI Usul Aceh Jadi Satu-Satunya Embarkasi Jemaah Haji Asal Indonesia
- Buka Forum Koordinasi PPID Kabupaten/Kota se-Aceh, Kadiskominsa: Bersikaplah Profesional dalam Memberikan Layanan