Diduga Fiktif, KPK Minta Polda Usut Penggunaan Anggaran Reses DPRK Banda Aceh
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kaukus Pemuda Kota (KPK) secara tegas meminta agar Polda Aceh segera mengusut indikasi penggunaan anggaran reses DPRK Banda Aceh yang sudah lama mencuat ke publik karena terindikasi fiktif.
"Pertangungjawaban belanja barang dan jasa pada kegiatan reses DPRK Banda Aceh pada tahun anggaran 2021 sebesar Rp1.585.359.776 tidak valid dan berpotensi menimbulkan kerugian daerah. Sudah seharusnya indikasi korupsi ini diusut oleh Polda Aceh mengingat temuan awalnya sudah ada dan waktu kesempatan pengembalian potensi kerugian negaranya selama 60 hari kelender juga sudah lewat sebagaimana peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2007. Ini sudah begitu lama terlewatkan, jadi sudah seyogyanya penegak hukum yakni Polda Aceh menyelidiki persoalan ini, sehingga publik yakin bahwa penegakan hukum di Aceh tidak tebang pilih, dan tidak hanya tajam ke bawah lalu tumpul ke atas," ungkap Koordinator Kaukus Pemuda Kota (KPK) Ikhwan Kartiawan, dalam siaran pres, Rabu (10/6/2023) .
Ikhwan memaparkan, berdasarkan temuan BPK RI, pada tahun anggaran 2021, Pemkot Banda Aceh menganggarkan belanja barang dan jasa sebesar Rp492.596.694.233 dengan realisasi sebesar Rp390.136.638.804 atau 79,20 persen. Anggaran tersebut di antaranya dipakai untuk kegiatan pelaksanaaan reses bagi 30 orang pimpinan dan anggota DPRK pada Sekretariat DPRK dengan jumlah realisasi sebesar Rp2.505.981.530, ditambah utang belanja kegiatan reses akibat tidak tersedianya dana di Kas Daerah sebesar Rp. 744.285.450.
Pada tahun 2021, lanjut Ikhwan, BPK menyebutkan kegiatan reses DPRK Banda Aceh dilaksanakan selama enam hari untuk setiap masa reses sehingga pelaksanaan reses dalam setahun menjadi 18 hari per orang berdasarkan daerah pemilihan (dapil). Sementara alokasi anggaran pelaksanaan reses setiap Pimpinan dan Anggota DPRK tahun 2021 sebesar Rp. 108.190.527 per orang untuk tiga kali masa reses.
"Setelah dilakukan pemeriksaan oleh BPK secara uji petik terhadap Surat Pertanggungjawaban (SPJ) kegiatan tersebut, didapati sejumlah permasalahan, yaitu, SPJ belanja barang dan jasa dalam kegiatan reses senilai Rp1.585.358.776 tidak valid. Kemudian ada tiga penyedia pengadaan barang dan jasa pada kegiatan tersebut, yaitu CV HC, CV NP dan CV FUJ dengan jumlah pembayaran sebesar Rp1.023.267.294 dan jumlah yang belum dibayarkan sebesar Rp570.150.232.," bebernya.
Masih kata Ikhwan, dokumen SPJ juga disebutkan ketiga penyedia tersebut menyediakan toolkit, spanduk, fotokopi, sewa tempat pertemuan, sewa sound system, cetak foto, serta menyediakan makan dan minum. Namun, ketika dilakukan konfirmasi terhadap ketiga pemilik perusahaan, ketiganya menyatakan tidak menyediakan barang dan jasa untuk kegiatan reses, namun hanya membuat faktur pembelian yang menjadi dokumen pertanggungjawaban.
"Dari uji petik BPK ini dapat kita lihat bahwa ada indikasi fiktif dari laporan kegiatan, sehingga terindikasi besar kemungkinan adanya kerugian negara, tapi sangat disayangkan jika penegak hukum tutup mata,"ujarnya.
Ikhwan menambahkan, dalam temuan BPK disebutkan bahwa Pemilik CV HC, FZL mengatakan uang kegiatan reses yang masuk ke rekening perusahaannya senilai Rp496.191.849 (sesuai faktur SPJ) dan diserahkan ke pendamping reses anggota DPRK yang juga merupakan istrinya, RHL senilai Rp486.018.591 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp10.173.258, sehingga FZL tidak mengetahui pengeluaran real atas kegiatan reses tersebut.
Dalam temuan itu bahwa pemilik CV NP, SFL mengatakan uang kegiatan reses yang masuk ke rekening perusahaannya senilai Rp147.906.599 (sesuai faktur SPJ) dan diserahkan kepada pendamping reses yang juga istrinya, AHS senilai Rp144.757.018 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp3.149.581, sehingga SFL tidak mengetahui pengeluaran rill atas kegiatan reses tersebut.
Selanjutnya, Pemilik CV FUJ, FZH mengatakan juga menarik uang kegiatan reses yang masuk ke rekeningnya senilai Rp379.168.846 dan uang tersebut diberikan kepada beberapa anggota DPRK sebesar Rp373.320.700 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp5.848.146.
Lebih lanjut, saat dilakukan permintaan bukti pertanggungjawaban yang real atas belanja kegiatan tersebut, bukti pengeluaran kegiatan reses hanya sebesar Rp8.057.750 yang diberikan oleh RHL. Sementara pendamping reses lainnya yang menerima uang dari CV HC, CV NP serta beberapa anggota DPRK dari CV FUJ sampai dengan pemeriksaan terakhir tidak menyampaikan bukti-bukti pengeluaran yang real.
"Maka dari itu, kegiatan reses yang dibuat oleh ketiga CV tersebut dengan nilai Rp1.585.359.776 (Rp.1.593.417.526 – Rp. 8.057.750) tidak dapat diyakini kebenaran realisasinya,"jelas Ikhwan.
Selain itu, kata Ikhwan, BPK juga menemukan kesalahan anggaran belanja alat/bahan kantor-bahan cetak terkait kegiatan reses sebesar Rp805.859.000 yang dipakai untuk pembayaran utang belanja tahun 2020. Anggaran belanja tahun 2020 tersebut bukan untuk kegiatan reses melainkan kegiatan rapat-rapat paripurna, rapat-rapat alat kelengkapan dewan, dan pengadaan perlengkapan gedung kantor.
Sejumlah temuan lain juga disebutkan BPK, yaitu terjadi pembebanan keuangan daerah terkait belanja dalam anggaran kegiatan reses sebesar Rp1.202.623.980 tidak sesuai dengan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2017.
Seharusnya sesuai qanun, anggaran yang disediakan oleh Sekretariat DPRK hanya konsumsi, ATK, sewa tempat yang diberikan pihak ketiga, sedangkan Pimpinan dan Anggota DPRK diberikan uang perjalanan dinas.
Tak sebatas itu, Ikhwan juga mengatakan bahwa BPK RI juga menemukan pada tahun anggaran 2021 adanya penggunaan APBK puluhan juta rupiah oleh oknum dewan untuk kepentingan membeli papan bunga pribadinya.
"Apakah dewan memang dibenarkan menggunakan APBK untuk kepentingan ucapan selamatnya pada acara dan pesta. Jika tidak, maka kenapa penegak hukum masih mengabaikan temuan-temuan yang sudah berulang kali disuarakan elemen masyarakat masyarakat hingga lembaga anti korupsi tersebut. Demi marwah penwgakan hukum, kita harap Polda Aceh sesegera mungkin mengusut temuan BPK ini, apalagi selain berpotensi adanya laporan dari kegiatan yang terindikasi fiktif, juga adanya potensi manipulasi pelaporan yang ujung-ujungnya merugikan keuangan negara," ucapnya.