Dialog Publik KAHMI Aceh Bahas PR Berat Gubernur Aceh Terpilih 2024
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Aceh menyelenggarakan acara dialog bertajuk "PR Gubernur Aceh Terpilih 2024?" di Gedung Wakaf Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MW KAHMI), Banda Aceh, Sabtu (2/11/2024). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Aceh menyelenggarakan acara dialog bertajuk PR Gubernur Aceh Terpilih 2024? di Gedung Wakaf Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MW KAHMI), Banda Aceh, Sabtu (2/11/2024).
Acara ini diselenggarakan sebagai respons terhadap berbagai isu mendasar yang mendesak untuk ditangani oleh gubernur baru Aceh demi membawa perubahan signifikan dan keberlanjutan pembangunan daerah.
Diskusi ini mengupas tuntas tantangan, peluang, dan tanggung jawab yang akan dihadapi pemimpin Aceh di tengah dinamika sosial, politik, hukum, ekonomi, dan lingkungan.
Dalam acara ini, hadir sejumlah narasumber kompeten yang memberikan pandangan kritis sesuai bidang masing-masing. Kehadiran para pakar ini diharapkan mampu membuka wawasan dan mencetuskan ide-ide progresif yang selaras dengan aspirasi masyarakat Aceh.
Acara yang dimoderatori oleh Dr. Syaifullah Muhammad, S.T., M.Eng., Kepala Astri Research Center, menghadirkan narasumber yaitu Prof. Dr. H. Syamsul Rijal, M.Ag., selaku Koordinator Presidium MW KAHMI Aceh, Dr. Iur. Chairul Fahmi, M.A., pakar hukum, Otto Syamsuddin Ishak, seorang sosiolog dan Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ., pakar ekonomi.
Prof. Dr. H. Syamsul Rijal, M.Ag., selaku Koordinator Presidium MW KAHMI Aceh mengatakan kegiatan ini bertujuan mempersiapkan kebijakan-kebijakan strategis yang akan menjadi acuan bagi gubernur terpilih dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Dalam hal ini, katanya, perlunya penekanan pada pentingnya pemimpin yang memiliki visi kuat dalam membawa Aceh menuju perubahan yang bermakna.
“Aceh membutuhkan pemimpin yang memahami kebutuhan rakyat serta menyiapkan fondasi jangka panjang bagi generasi mendatang,” ujar Syamsul.
Ia menegaskan bahwa diskusi ini bukan sekadar forum bertukar gagasan, melainkan panggilan moral bagi gubernur terpilih untuk terus mendahulukan kepentingan masyarakat.
Sementara itu, Dr. Iur. Chairul Fahmi, M.A., pakar hukum, menyampaikan pentingnya perhatian serius terhadap penegakan hukum di Aceh.
Menurutnya, Aceh menghadapi tantangan besar dalam mengharmonisasikan hukum nasional dengan aturan syariah yang diterapkan khusus di provinsi ini.
"Dibutuhkan pendekatan hukum yang inklusif dan kontekstual agar dapat mewujudkan keadilan yang merata,” tutur Chairul.
Ia juga menegaskan pentingnya kerja sama antara pemerintah daerah, lembaga hukum, dan ulama agar penerapan hukum syariah dapat berjalan tanpa mengabaikan hak asasi manusia.
Di provinsi ini, syariat Islam diterapkan secara khusus, sebuah keunikan yang memberikan warna tersendiri dalam lanskap hukum Indonesia.
Namun, penerapan aturan syariah di Aceh tidak luput dari berbagai tantangan, terutama dalam memastikan agar pelaksanaannya tetap selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Menurut Chairul, Aceh membutuhkan pendekatan hukum yang lebih inklusif dan kontekstual untuk memastikan keadilan yang merata.
Ia menjelaskan bahwa, meski hukum syariah membawa nilai-nilai luhur yang sesuai dengan norma dan adat istiadat lokal, tantangan terbesar adalah bagaimana hukum tersebut dapat diterapkan tanpa mengesampingkan hak-hak mendasar setiap individu.
"Dibutuhkan pendekatan hukum yang inklusif dan kontekstual agar dapat mewujudkan keadilan yang merata,” tutur Chairul.
Lebih lanjut, Chairul Fahmi menekankan bahwa agar hukum syariah di Aceh dapat diterima secara luas dan berjalan tanpa kendala, kolaborasi antar-pemangku kepentingan mutlak diperlukan.
Menurutnya, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam merumuskan kebijakan yang bersifat humanis dan inklusif, sementara lembaga hukum bertanggung jawab dalam menjamin bahwa setiap warga Aceh diperlakukan secara adil di hadapan hukum.
Di sisi lain, peran ulama sangat krusial untuk menjembatani antara norma agama dan aturan hukum yang berlaku, mengingat ulama memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Aceh.
Kerja sama yang baik antara pemerintah daerah, lembaga hukum, dan ulama, menurut Chairul, akan menciptakan sebuah sinergi yang harmonis dalam penerapan hukum syariah yang tetap menghormati hak asasi manusia.
Sebagai contoh, Chairul menyebutkan bahwa dalam kasus pelanggaran-pelanggaran tertentu, penting bagi pihak berwenang untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih mendidik ketimbang menghukum, terutama terhadap kasus-kasus yang melibatkan masyarakat rentan.
Dengan pendekatan ini, Chairul yakin hukum syariah di Aceh dapat berjalan dengan lebih efektif, humanis, dan tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
Chairul Fahmi juga menyinggung pentingnya penyelarasan antara peraturan lokal dan nasional dalam berbagai aspek hukum, mulai dari aspek pidana, perdata, hingga administrasi pemerintahan.
Menurutnya, apabila tidak ada upaya harmonisasi yang jelas, dikhawatirkan akan muncul tumpang tindih antara kebijakan lokal dan aturan nasional yang bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat.
"Aceh memerlukan pendekatan yang tidak hanya mengedepankan formalitas hukum, tetapi juga nilai-nilai keadilan yang mampu dirasakan oleh semua lapisan masyarakat," tegasnya.
Dalam pandangannya, kebijakan hukum yang berhasil bukan hanya soal bagaimana peraturan ditegakkan, tetapi juga bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan dalam setiap penerapannya.
Prinsip inilah yang dianggapnya perlu menjadi perhatian utama gubernur baru Aceh, sebagai pemimpin yang diharapkan mampu membawa perubahan di bidang hukum yang lebih berpihak pada keadilan sosial.
Dr. Chairul Fahmi menegaskan bahwa tanpa adanya harmonisasi yang efektif antara hukum nasional dan syariah, tantangan ke depan akan semakin kompleks, terutama dalam memastikan bahwa semua elemen masyarakat mendapatkan hak-hak mereka tanpa diskriminasi.
Dengan perspektif yang luas dan berakar pada prinsip-prinsip keadilan sosial, Chairul Fahmi berharap pemerintah Aceh dapat mengutamakan pendekatan yang humanis dalam setiap kebijakan hukumnya.
Baginya, hukum bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi juga soal bagaimana aturan tersebut diterjemahkan dalam tindakan nyata yang mencerminkan keadilan dan menghormati martabat setiap warga Aceh.
Otto Syamsuddin Ishak dari sosiolog mengangkat permasalahan ketimpangan sosial yang masih membelenggu masyarakat Aceh.
Menurutnya, meskipun Aceh memiliki potensi besar, ketimpangan dalam akses pendidikan dan ketenagakerjaan di berbagai wilayah masih menjadi kendala serius.
"Gubernur terpilih harus mengedepankan kebijakan yang memberdayakan masyarakat di pelosok Aceh,” ujar Otto.
Ia juga menyoroti pentingnya pemerintah dalam menangani urbanisasi yang seringkali memicu ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan.
Otto menyarankan agar gubernur terpilih memfokuskan pada pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja dan pendidikan berkualitas.
Dalam pandangannya, Aceh, meskipun memiliki potensi sumber daya alam dan budaya yang melimpah, masih terjebak dalam persoalan ketimpangan yang signifikan di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan.
Menurut Otto, perbedaan akses pendidikan di wilayah perkotaan dan pedesaan menciptakan jurang yang melebar antara masyarakat yang memiliki kesempatan untuk maju dan mereka yang terpinggirkan.
Otto melihat bahwa masyarakat di daerah pelosok sering kali menghadapi keterbatasan dalam memperoleh pendidikan yang layak dan kesempatan kerja yang memadai, sementara daerah perkotaan memiliki fasilitas yang lebih baik.
“Ketimpangan ini menghambat potensi besar Aceh untuk berkembang secara merata,” ungkap Otto.
Ia menekankan pentingnya kebijakan yang memperhatikan pemerataan, di mana gubernur terpilih diharapkan mampu merumuskan program-program yang memberdayakan masyarakat di seluruh penjuru Aceh, terutama di wilayah yang selama ini kurang mendapat perhatian.
"Gubernur terpilih harus mengedepankan kebijakan yang memberdayakan masyarakat di pelosok Aceh," tambahnya.
Tidak hanya itu, Otto juga mengangkat isu urbanisasi yang menurutnya perlu ditangani dengan cermat oleh pemerintah.
Urbanisasi yang tidak terkelola dengan baik sering kali mendorong ketimpangan yang lebih besar, karena desa-desa semakin ditinggalkan, sementara kota besar seperti Banda Aceh menjadi pusat urban yang padat dan rentan terhadap masalah sosial.
Otto menyarankan bahwa pemerintah, khususnya gubernur terpilih, harus lebih serius memfokuskan kebijakan pemerataan pembangunan.
Menurutnya, pembangunan yang menyeluruh tidak hanya akan mengurangi tekanan urbanisasi, tetapi juga akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah pedesaan.
Di sisi lain, Dr. Rustam Effendi, pengamat ekonomi Aceh mengemukakan bahwa Aceh sebenarnya menyimpan potensi besar di sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata.
Sektor-sektor ini, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi tulang punggung perekonomian Aceh. Namun, Rustam melihat sejumlah kendala yang masih menghambat optimalisasi sumber daya ini, seperti minimnya infrastruktur pendukung di daerah-daerah strategis, kurangnya investasi, dan regulasi yang belum ramah bagi pengembangan usaha kecil dan menengah (UMKM).
“Aceh memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendukung UMKM sebagai motor penggerak ekonomi,” kata Rustam.
Ia menyoroti bahwa untuk mengembangkan ekonomi Aceh, gubernur terpilih harus memiliki visi yang kuat untuk membangun infrastruktur dasar yang dapat menarik investasi.
Hal ini, menurut Rustam, akan membuka peluang bagi peningkatan ekonomi lokal dan sekaligus mendorong pertumbuhan sektor-sektor potensial.
Rustam juga menekankan bahwa perhatian terhadap UMKM perlu menjadi prioritas. Sebagai tulang punggung perekonomian lokal, UMKM memiliki peran penting dalam menyediakan lapangan kerja dan mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor yang bergantung pada anggaran pemerintah.
Dengan kebijakan yang tepat, Rustam percaya bahwa sektor UMKM di Aceh dapat berkembang pesat dan memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat.
"Gubernur harus berorientasi pada pembangunan yang mampu membuka lapangan kerja, memajukan ekonomi lokal, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Aceh," tutup Rustam.[nh]