Dewas KPK Tak Lapor Lili Tak Bisa Dikatakan Adanya Conflict of Interest
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Praktisi Hukum, Yulfan. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus Wakil Ketua KPK, Lili Pantauli sudah melanggar kode etik dengan memanfaatkan posisi dan pengaruh jabatannya untuk kepentingan pribadi atau melanggar kode etik KPK dengan menekan Walikota Tanjung Balai nonaktif M. Syahrial guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatin Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.
Namun Dewas dalam hal ini menolak permintaan yang dilayangkan sejumlah pegawai non-aktif agar melaporkan Lili secara pidana. Dalam perkara ini, Dewas KPK sudah menjatuhi sanksi berupa pemotongan gaji 40% selama 12 bulan. Namun, sejumlah pihak menilai putusan itu tidak sebanding dengan dugaan tindak pidana lili.
Praktisi Hukum, Yulfan menegaskan bahwa Dewas sudah pada tupoksinya, jika ada yang mengatakan Conflict of Interest (Konflik Kepentingan) itu tidak bisa disebut Conflict of Interest.
“Dan dari pernyatan Dewas KPK yang menolak melaporkan lili yang dikatakan Sujarnoko adanya Conflist of Interest, saya tidak tahu maksudnya itu seperti apa, saya rasa tidak bisa disebut konflik kepentingan, kan fungsi Dewas juga selain etik juga membersihkan oknum-oknum tertentu dari kerja-kerja yang melanggar etik, itu sifatnya dalam istilah hukum non-imperatif ataupun fakultatif,” jelasnya.
Yulfan menjelaskan, Fakultatif itu bisa disimpangi, bisa dicari alternatif lain dan ada banyak kemungkinan.
“Tapi kalau Imperatif memang ada satu ketegasan bahwa Dewas KPK itu mempunyai peran, melaporkan, menegakkan hukum kalau ada pihak-pihak tertentu yang melanggar kode etik + melanggar hukum, masalahnya dalam aturannya itu tidak ada,” jelasnya.
Lain hal, Kata Yulfan, pada pasal 37 b itu sudah secara tegas resprisif, bahwa Dewas juga bisa melaporkan pelaporan.
“Tapi tidak mengharuskan, istilahnya tidak Haram. Bukan berarti tidak boleh, jadi kalau kita lihat cara kerja Dewas ini, katakan ada satu hasil sidang yang mengatakan ada kemungkinan ada pelanggaran hukum, tindak pidana itu diserahkan ke siapa yang dirugikan misalnya, atau siapa saja yang merepresintasikan pihak-pihak tertentu untuk melaporkan, contohnya ICW,” tambah Yulfan.
Lanjutnya, Kata Yulfan, jadi Dewas sudah sesuai dengan tupoksinya.
“Dewas dalam hal ini sudah tegas memberikan sanksi kepada Lili, dan sanksi tersebut adalah bentuk ketegasannya,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menambahkan, bahwa secara etik berdampak pada kasus-kasus pidana itu menjadi hal lain.
“Etik dan Hukum itu adalah dua hal yang sangat berbeda, dalam hal ini kita merujuk saja pada aturan yang ada, Dewas KPK punya fungsi sampai melapor kepihak ekternal, apakah ada atau tidak? Kita harus bisa berpikir yuridis seseuai dengan aturan yang ada,” ucapnya.
Sejauh ini, Dewas KPK tidak melaporkan Lili itu tidak melanggar hukum dan tidak melanggar Tupoksi Dewas KPK.
“Jika Dewas KPK melaporkan, maka Dewas berbicara sebagai warga negara, Dewas sebagai masyarakat biasa, bukan sebagai Dewas KPK, jadi tidak boleh disamakan. ICW melaporkan Lili, boleh saja!, atas apa yang dilakukan oleh Lili itu bentuk pelanggaran prinsip anti korupsi, bagaimana bisa orang kerja di sebuah lembaga anti-rasuah melakukan hal yang dilarang oleh lembaga tersebut, bertabrak dengan aturan-aturan anti korupsi,” pungkasnya.
Yulfan menyampaikan, dalam hal ini kita tidak boleh terjebak dalam cara pandang politik, jika berpandang secara politik mungkin Dewas KPK ini seperti tidak berfungsi.
“Padahal Dewas KPK sudah melaksanakan tugas, apa tugasnya? Dewas KPK sudah melaksanakan sidang kode etik dan memberikan sanksi dan sudah selesai, kecuali Dewas KPK tidak melakukan upaya apapun dalam pelanggaran kode etik, itu baru boleh dipertanyakan apa fungsi Dewas KPK secara internal,” tutupnya kepada Dialeksis.com. [ftr]