kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Covid-19 di Aceh Tinggi, Komnas HAM Minta Plt. Gubernur Usulkan PSBB Terbatas

Covid-19 di Aceh Tinggi, Komnas HAM Minta Plt. Gubernur Usulkan PSBB Terbatas

Kamis, 03 September 2020 21:45 WIB

Font: Ukuran: - +

[Foto: Habil Razali / Beritagar.id]


Komnas HAM Perwakilan Aceh menyatakan perlu adanya sanksi yang tegas untuk memastikan semua pihak mentaati protokol kesehatan. Hal ini perlu dilakukan mengingat tingginya angka konfirmasi Covid-19 di Aceh. Berdasarkan data yang bersumber dari Dinkes Aceh yang menjadi rujukan Komnas HAM, per 1 September 2020, jumlah yang terkonfirmasi Covid-19 adalah 1648 orang. Sementara per 30 Juni 2020, hanya 80 orang. 

Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama di Banda Aceh mengatakan, terkait dengan lonjakan tersebut, maka Komnas HAM mengingatkan kepada Plt. Gubernur Aceh dan para Kepala Daerah se-Aceh untuk segera mempercepat penerbitan Peraturan Gubernur/Peraturan Bupati/Peraturan Walikota tentang protokol kesehatan guna mencegah Covid-19 sebagaimana yang dilakukan oleh Walikota Banda Aceh melalui Peraturan Walikota Nomor 45 Tahun 2020. Peraturan tersebut dapat menjadi dasar hukum bagi pemangku kepentingan dan penegak hukum dalam menindak semua pihak yang melanggar protokol kesehatan Covid-19. Dengan demikian Plt Gubernur Aceh dapat berkoordinasi dengan kepolisian untuk memastikan ada tindakan tegas berdasarkan hukum terhadap pelanggaran kebijakan menjaga jarak, penggunaan masker dan larangan kerumunan.

Komnas HAM juga meminta agar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Aceh mengkonsolidasikan semua proses percepatan penanganan Covid-19 di Aceh termasuk penindakan dan penegakan hukum yang melibatkan kepolisian serta sistem informasi penanganan Covid-19 di Aceh yang terpusat dan satu pintu melalui Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Aceh sesuai dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 440/1021/2020 tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Aceh.

Sepriady menambahkan, merujuk pada beberapa kasus yang terjadi, maka keterbukaan informasi tentang penanganan Covid-19 penting dan dibutuhkan oleh masyarakat, sepanjang tidak menyangkut informasi publik yang dikecualikan, yaitu bersifat rahasia, sesuai dengan undang-undang, kepatutan dan kepentingan umum. Hal ini menurut Sepriady, sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 19 ayat 2 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Selain itu, Komnas HAM meminta kepada Pemerintah Daerah bekerjasama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk secara aktif mengedukasi masyarakat tentang penanganan jenazah pasien Covid-19. Edukasi ini diperlukan selain untuk menghindari penularan dan penyebaran Covid-19 juga untuk memberikan pemahaman dan rasa kepercayaan masyarakat bahwa pemulasaran jenazah Covid-19 telah sesuai dengan protokol kesehatan sebagaimana dianjurkan oleh WHO dan sejalan dengan Syariat Islam.

Terkait kebijakan tentang pemeriksaan rapid test di beranda/teras IGD rumah sakit bagi setiap pasien, perlu dijelaskan apakah kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan. Selain itu, perlu diinformasikan kepada publik mengenai pembiayaan pemeriksaan rapid test, apakah dibebankan kepada pasien atau dibebankan kepada Pemerintah Daerah.

PSBB Terbatas

Menurut Sepriady, Komnas HAM juga merekomendasi kepada Plt Gubernur agar berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera mengajukan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terbatas terhadap Kabupaten/Kota yang eskalasi angka positif Covid-19nya tinggi seperti Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Selain itu PSBB juga diperlukan sebagai landasan dalam penguatan penerapan berbagai kebijakan dan terobosan untuk percepatan penanganan Covid-19 di Aceh. 

"Pembatasan Sosial Berskala Besar dilakukan dengan memperhatikan/menjamin pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Untuk maksud tersebut, Plt Gubernur, DPRA, Bupati/Walikota dan DPRK, berkewajiban membuat kebijakan pemberian jaminan hidup bagi semua yang terdampak, khususnya bagi kelompok rentan, miskin, buruh, pekerja mandiri, dan berbagai marginal dan masyarakat terdampak lainnya serta memastikan tidak adanya PHK dan pengurangan hak buruh lainnya,” ujar Sepriady Utama.

Mengenai rencana Pemerintah Aceh untuk kembali memberlakukan jam malam, menurut Sepriady, secara hukum pembatasan interaksi sosial masyarakat yang dilakukan pemerintah dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Pembatasan demikian, lanjut Sepriady, sesuai dengan prinsip Siracusa atau Prinsip Pembatasan HAM. Prinsip Siracusa tertuang dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pemerintah melalui Undang-Undang No 12 Tahun 2005.  

Komnas HAM Aceh merekomendasikan penambahan rumah sakit untuk Covid-19, penyiapan infrastruktur dan sarana prasarana isolasi, penyiapan alat pelindung diri serta alat penunjang kesehatan bagi tenaga medis. Secara khusus Pemerintah Aceh harus melakukan terobosan untuk merekrut dan menambah tenaga medis khusus Covid-19 baik dokter maupun perawat, pelatihan khusus penanganan pasien Covid-19 serta menyediakan insentif dan fasilitas untuk mendukung keselamatan tenaga medis Covid-19.

Sepriady menambahkan agar Gerakan Masker Aceh (GEMA) yang dicanangkan oleh Pemerintah Aceh pada 4 September 2020 dilakukan dengan tetap mengikuti dan mematuhi protokol kesehatan, menghindari keramaian (kerumunan massa) dan menjaga jarak agar sosialisasi tersebut justru tidak menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 [*].

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda