Cerita Syahnan, Kisah Kelam Semasa Tsunami
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ahyar
Syahnan, warga asal Sigli yang berziarah ke kuburan Massal Tsunami untuk mendoakan anaknya yang berumur 3 tahun 1 bulan yang menjadi korban tsunami, Sabtu (26/12/2020). [Foto: Ahyar/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Aceh Besar - Refleksi 16 tahun bencana tsunami mengingatkan kita akan kelamnya musibah dahsyat yang dialami warga di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada 26 Desember 2004, gempa dengan kekuatan 9,3 skala Ritcher mengguncang dasar laut di barat daya Sumatra, sehingga menciptakan gelombang besar yang menerjang 'Bumoe Seuramoe Mekkah' dan memakan begitu banyak korban jiwa.
Tepat pada hari Sabtu (26/12/2020), Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar menggelar doa bersama untuk mengenang para korban tsunami Aceh yang diselenggarakan di Kuburan Massal Tsunami, Gampong Ule Lheue, Aceh Besar.
Dari pantauan Dialeksis.com, turut berhadir ratusan hingga ribuan jemaah untuk berziarah atau berdoa bersama.
Ada jemaah yang berzikir dengan khusyuk dan ada juga yang tidak bisa menahan isak tangis mengenang almarhum yang telah berpulang ke rahmatullah.
Salah satunya adalah keluarga Syahnan, warga asal Sigli yang berziarah ke kuburan Massal Tsunami untuk mendoakan anaknya yang berumur 3 tahun 1 bulan yang menjadi korban tsunami. Ia bercerita kepada Dialeksis.com bagaimana kelamnya pengalaman bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada 2004 lalu.
Ia berujar, pada saat tsunami terjadi, ia bersama istrinya tinggal di asrama Brimob, Lingke, Banda Aceh. Ketika gempa, ia bersama anggota keluarga lainnya keluar dari rumah, duduk di teras sambil berdoa kepada tuhan.
Sekitar 10 menit setelah gempa selesai, tiba-tiba dari atas langit ia melihat ada sekawanan burung berwarna putih terbang menjauh dari arah lautan.
Pada saat itu, Syahnan bingung dengan fenomena yang terjadi. Tiba-tiba saja, orang-orang di sekitar sudah pada mulai berlarian menyelamatkan diri. Ia yang masih dalam keadaan bingung itu masuk ke rumah menjemput istri dan anaknya yang masih berusia sangat belia untuk kemudian dibawa lari bersama-sama.
Dalam keadaan terjepit bencana, dari dalam rumah ia mendengar deru suara ombak yang sangat nyaring, dan ketika ia melihat ke belakang rumah, tiba-tiba terjangan ombak sudah berada di belakang rumah mereka.
Ia menggenggam kuat tangan istrinya bersamaan dengan seorang anak dalam gendongannya, ia bawa lari mereka dalam ketakutan, berusaha menyelamatkan nyawa anak dan istrinya.
Ia lari sekitar 200 meter jauhnya, akan tetapi laju air laut yang mengalir begitu cepat, sehingga ia terkena hempasan ombak pertama. Hempasan ombak pertama itu membuat istrinya terlepas dari genggamannya begitu juga dengan anak yang saat itu dalam gendongannya.
Ia terpisah dengan anak dan istrinya terbawa ombak. Kemudian dalam hanyutan air itu, Syahnan bertemu kembali dengan istrinya di lapangan tembaan asrama Brimob.
Di atas air, ia berhadap-hadapan dengan istrinya. Syahnan berkata "anak sudah lepas, kita pegangan saja yang kuat." Istrinya yang mendengar kabar itu hanya bisa menerima keadaan dan menangis mendayu-dayu.
Syahnan dan istrinya yang saat itu berada di atas air dan terbawa arus, ternyata di terjang lagi dengan ombak yang kedua. Berdasarkan pengakuan Syahnan, ombak kedua itu sangat besar sehingga mengakibatkan ia dan istrinya terpisah kembali.
Dalam ombang-ambing ombak, Syahnan terlempar ke atas kantor asrama Brimob. Karena kondisinya yang saat itu masih sadar akibat terkena hempasan kayu selama hanyut di dalam air, ia melihat keadaan air yang mulai tenang. Kemudian, kesempatan itu ia manfaatkan untuk berenang ke arah sebuah pohon.
Di atas pohon itu, Syahnan duduk di atas sana sampai jam 4 sore. Karena air masih belum surut dan gempa susulan masih ada, ia tidak berani turun.
Akhirnya ketika air sudah tenang, ia memberanikan diri untuk turun dan menjemput istrinya yang saat itu juga selamat dari tsunami berada di atas salah satu rumah warga di asrama brimob.
Ia langsung menuju ke arah istrinya lalu bersama-sama dengan warga lainnya membantu yang selamat untuk diturunkan dari atap rumah. Kemudian, ia bersama warga yang selamat dari bencana tsunami Aceh itu bersama-sama keluar dari asrama Brimob itu untuk cari tempat penginapan di luar.
Itulah cerita kelam yang dialami Syahnan. Ia mengatakan, selama 16 tahun paska tsunami Aceh, ia tidak pernah absen berkunjung ke Kuburuan Masaal Tsunami untuk mendoakan anaknya.
Ia juga mengapresiasi kinerja pengurus kuburnan massal tsunami itu. Menurutnya, kerja-kerja mereka dalam mengurus makam itu sudah sangat baik.
"Melihat pengurusan di sini kita lihat sudah bagus, tidak ada masalah. Karena tiap tahunnya kita lihat tetap berjalan dengan lancar, aman, tertib. Enggak ada kendala apa-apa," pungkas Syahnan.(AHY)