kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Catatan Akhir Tahun Walhi Aceh: Persoalan Lingkungan Tidak Ada Perubahan yang Signifikan

Catatan Akhir Tahun Walhi Aceh: Persoalan Lingkungan Tidak Ada Perubahan yang Signifikan

Kamis, 02 Januari 2020 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur saat menyampaikan keterangan dihadapan wartawan, Kamis, (2/1/2020) di Kantor Walhi Aceh, Lambhuk, Banda Aceh. [Foto: Dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menilai banyak persoalan lingkungan yang terjadi pada tahun 2019 tidak mampu tertangani atau diselesaikan sehingga dapat dikatakan kondisi lingkungan hidup Aceh tidak ada perubahan yang signifikan. Akibatnya, bencana ekologi menjadi dampak dari semua kondisi tersebut.

Hal tersebut terungkap melalui konferensi pers 'Catatan Akhir Tahun Walhi Aceh Tahun 2019' yang digelar di Kantor Walhi Aceh, Kamis (2/1/2020), dikawasan Lambhuk, Banda Aceh.

"Sepanjang tahun 2019 WALHI Aceh mencatat 177 kali terjadi bencana ekologi dengan total kerugian mencapai 538,8 milyar dan masyarakat terdampak mencapai 12.255 jiwa. Bencana kekeringan terjadi 4 kali, banjir 45 kali, erosi/longsor 31 kali, gempa bumi 10 kali, karhutla 23 kali, angin kencang 49 kali, abrasi 13 kali, dan pencemaran limbah 2 kali," terang Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur dihadapan wartawan.

Lebih lanjut M Nur menjelaskan kawasan hutan dan konservasi Aceh masih pada angka 3,5 juta hektar (ha) atau seluas 58,96% dari total luas daratan provinsi Aceh. Provinsi Aceh masih memiliki 28 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total luas area mencapai 62.112 ha, yang tersebar di delapan kabupaten/kota, yaitu Aceh Besar, Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan, Kota Subulussalam, dan Aceh Tengah. 

"Dari delapan daerah tersebut, Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Tengah merupakan daerah dengan area IUP terluas di Aceh," jelas M Nur. 

Sedangkan Pertambangan mineral bukan logam dan batuan atau Galian C, sambungnya, berdasarkan data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, sampai tahun 2019 mencapai 252 IUP di seluruh Aceh. 

"Jumlah izin terbanyak ada di Aceh Tamiang, Bireuen, dan Aceh Besar dengan total izin eksporasi dan izin operasi produksi mencapai 116 izin," terang dia.

M Nur menerangkan, sektor perkebunan memiliki luas 1,1 juta ha, terdiri dari perkebunan rakyat sekitar 810 ribu ha, dan perkebunan besar sekitar 348 ribu ha. Dari total luas tersebut, kata M Nur, penggunaan lahan perkebunan didominasi oleh komoditas kelapa sawit. Selain itu, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri mencapai 258.649 ha. 

"Penggunaan kawasan hutan untuk kebutuhan investasi sumber daya alam, pembangunan infrastruktur, pertambangan emas ilegal, ilegal logging, perambahan, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya mencapai 353.109 ha," tuturnya.

Ia juga menyinggung tentang pertambangan emas ilegal yang tersebar di tujuh kabupaten, dengan luas areal mencapai 2,226,87 ha, melibatkan 5.677 tenaga kerja yang tersebar di 806 titik galian atau titik pengambilan emas ilegal di Aceh. 

"Untuk sektor energi, berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik tahun 2019, provinsi Aceh memiliki potensi energi mencapai 6.992 MW, potensi terbesar ada pada PLTA mencapai 4.025 MW," pungkasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Walhi Aceh menyampaikan kesimpulannya terhadap kondisi lingkungan hidup Aceh tahun 2019. 

Berikut beberapa catatan Walhi Aceh:

1. Sampai akhir Tahun 2019, kegiatan perambahan, ilegal logging, tambang emas ilegal, galian bebatuan dan tanah keruk (c) ilegal, pencemaran limbah, investasi berbasis kawasan hutan (tambang dan proyek energi), dan ekspansi perkebunan, merupakan faktor penyebab kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada bencana ekologis di Aceh.

2. Pemerintah Aceh belum mampu menyelesaikan persoalan sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit

3. Pemerintah Aceh tidak melanjutkan kebijakan moratorium tambang dan moratorium perkebunan sawit menjadi indikator Plt. Gubernur Aceh tidak pro terhadap isu lingkungan hidup

4. Pemerintah Aceh belum mampu menertibkan pertambangan emas ilegal di Aceh

5. Belum selesainya Persoalan PT. EMM menjadi indikator kegagalan Plt. Gubernur Aceh dan DPRA dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan menjaga kewenangan serta kekhususan Aceh terkait pengelolaan Sumber Daya Alam di Aceh.

6. Aceh merupakan daerah rawan bencana, untuk itu harus dikedepankan keseimbangan ekologi dalam setiap kebijakan pembangunan sesuai fungsi ruang, daya tampung, daya dukung serta bentuk pembangunan disesuaikan ruang tanpa harus mengubah fungsi hutan

7. Masyarakat yang berada di lingkungan industri batubara, semen, PLTU, dan pabrik kelapa sawit masih menyuarakan protes terkait persoalan pencemaran limbah

8. Kemenangan WALHI dalam gugatan izin PLTA Tampur harus menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah Aceh untuk taat dan patuh terhadap ketentuan hukum dalam pengelolaan kawasan hutan Aceh.

9. Sampai tahun 2019, WALHI Aceh telah memfasilitasi terbitnya izin Hutan Desa seluas 28.203 ha di 4 kabupaten di Aceh yang terdampak langsung terhadap 7.877 jiwa yang dibantu KLHK

10. Revisi qanun Aceh no 19 tahun 2013 tentang RTRWA merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah Aceh. (id)


Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda