Beranda / Berita / Aceh / Butuh Solusi, Konflik Buaya dan Nelayan di Aceh Singkil Semakin Parah

Butuh Solusi, Konflik Buaya dan Nelayan di Aceh Singkil Semakin Parah

Sabtu, 19 Oktober 2024 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Seorang nelayan di wilayah Pulau Matahari, Desa Haloban, Kecamatan Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil. Seorang warga bernama Amanota (43), asal Desa Asantola, diserang buaya saat tengah mencari tripang di perairan tersebut. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Konflik antara buaya dan nelayan di Kabupaten Aceh Singkil, terutama di Kepulauan Banyak, kian memprihatinkan. 

Dalam beberapa tahun terakhir, serangan buaya terhadap nelayan yang mencari nafkah di perairan sekitar telah meningkat, menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. 

Situasi ini tak hanya mengancam keselamatan manusia, tetapi juga memengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Aceh Singkil, Saiful Umar, menyatakan bahwa benturan ini terjadi karena habitat buaya dan wilayah tangkap nelayan semakin menyempit dan sering tumpang tindih. 

"Populasi buaya di perairan tempat nelayan bekerja terus bertambah. Meski nelayan enggan melakukan pembasmian, namun minimnya langkah preventif dari pemerintah membuat situasi semakin rumit," ujar Saiful kepada Dialeksis.com, Sabtu (19/10/2024)

Menurut Saiful, masalah ini sebenarnya dipicu oleh perubahan peraturan terkait pengelolaan konservasi satwa liar. 

Terbitnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2024, yang merupakan perubahan dari UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengalihkan kewenangan pengelolaan buaya dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) ke Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pemerintah daerah.

Namun, peralihan kewenangan ini justru memunculkan kebingungan di lapangan. 

BKSDA sebelumnya bertanggung jawab atas penanganan konflik manusia dan buaya, tetapi setelah berlakunya UU No. 32, peran tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah, yang melalui Dinas Perikanan, diharapkan lebih aktif dalam menanggulangi permasalahan ini. 

"Pasca terbitnya UU tersebut, ada kebingungan tentang siapa yang sebenarnya berwenang dalam menangani konflik buaya di kawasan perairan seperti Aceh Singkil. Peraturan baru tersebut menyatakan bahwa pemerintah daerah kini memiliki otoritas penuh atas konservasi di kawasan perairan, namun implementasinya masih jauh dari jelas," terang Saiful.

Di Aceh Singkil sendiri, hingga saat ini belum ada kawasan perairan yang secara resmi ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam atau Kawasan Pelestarian Alam. Kondisi ini menghambat pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2024 secara menyeluruh, dan menyebabkan tanggung jawab pengelolaan konservasi buaya tetap berada di bawah BKSDA.

Meningkatnya konflik ini bukan tanpa akibat. Dalam insiden terbaru pada 9 Oktober 2024, seorang nelayan di Kepulauan Banyak menjadi korban serangan buaya, menambah panjang daftar korban konflik satwa tersebut. 

Menurut laporan masyarakat setempat, serangan buaya terhadap nelayan kian meningkat sejak beberapa tahun terakhir, dengan beberapa kasus yang berakhir fatal.

“Serangan buaya terus terjadi, namun belum ada tindakan nyata dari pemerintah. Kami hanya bisa berusaha lebih hati-hati saat melaut, meskipun tetap tidak ada jaminan keselamatan," keluh seorang nelayan yang tidak ingin disebutkan namanya. 

Melihat kondisi ini, Saiful Umar menyarankan perlunya diadakan Forum Group Discussion (FGD) yang melibatkan semua pihak, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, BKSDA, pemerintah daerah, serta komunitas nelayan. 

Diskusi tersebut diharapkan dapat menyamakan persepsi dan mencari solusi terbaik untuk mengurangi konflik antara manusia dan buaya.

"Tanpa adanya peraturan teknis yang jelas mengenai pengelolaan satwa liar di perairan, sangat sulit untuk mengatasi konflik ini. Kami sangat membutuhkan regulasi yang lebih spesifik agar penanganan bisa dilakukan dengan cepat dan tepat sasaran," tambahnya.

Sementara itu, Saiful berharap BKSDA tetap menjalankan tugasnya dalam menangani masalah konservasi buaya sampai regulasi baru diterapkan secara menyeluruh.

"Selama belum ada aturan yang spesifik terkait penetapan kawasan konservasi di perairan Aceh Singkil, BKSDA tetap harus aktif dalam menangani konflik ini," tegasnya.

Edukasi kepada masyarakat tentang bahaya habitat buaya dan pengembangan sistem peringatan dini di kawasan rawan serangan menjadi beberapa rekomendasi preventif yang diusulkan. 

Selain itu, kerja sama antara nelayan dan pihak berwenang dalam memantau pergerakan buaya juga dianggap penting agar insiden serupa dapat diminimalisir.

"Adanya langkah konkret dan komitmen dari semua pihak terkait, diharapkan konflik antara buaya dan nelayan dapat diredam. Perlindungan terhadap satwa liar yang dilindungi, seperti buaya, harus tetap diperhatikan, namun keselamatan nelayan juga tak boleh diabaikan," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda