Buruh Aceh Tuntut Pemerintah Realisasikan Qanun Ketenagakerjaan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Ketua Aliansi Buruh Aceh (ABA) periode 2022-2025, Syaiful Mar. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Aliansi Buruh Aceh (ABA) periode 2022-2025, Syaiful Mar berharap kepada pemerintah agar dapat merealisasikan Qanun perubahan Nomor 1 Tahun 2024 tentang ketenagakerjaan.
Dalam Qanun perubahan tersebut diatur hak-hak pekerja terkait libur hari tertentu, seperti pada bulan Ramadhan, hari peringatan tsunami, hari perdamaian Aceh dan hari meugang, termasuk satu hari sebelum puasa Ramadhan, satu hari sebelum hari Raya Idul Fitri, satu hari sebelum hari Raya Idul Adha.
Kemudian buruh juga mendapat tunjangan hari meugang yang harus diberikan oleh perusahaan paling kurang tiga hari sebelumnya.
"Harapan buruh Aceh pada Qanun Ketenagakerjaan perubahan Nomor 1 Tahun 2024 untuk terwujudnya perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh dan kekuranganya juga belum dikabulkan oleh Pemerintah," kata Ketua Aliansi Buruh Aceh (ABA) periode 2022-2025, Syaiful Mar dalam orasi di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Rabu 1 Mei 2024.
Dengan tidak terealisasikan Qanun Perubahan Nomor 1 Tahun 2024 tentang ketenagakerjaan, lanjutnya, maka tidak ada pengaturan yang jelas terkait tunjangan meugang, penetapan upah minimum dan sistem kerja yang masih mengekor pada aturan nasional yang semestinya dapat diatur secara khusus di Aceh.
"Kita meminta Pemerintah Aceh segera melaksanakan Pengawasan Ketenagakerjaan dan menindak tegas perusahaan yang melakukan pemberangusan serikat pekerja dan melanggar aturan ketenagakerjaan," ujarnya.
Dikatakan, masih banyaknya intimidasi dan perlakuan tidak adil bagi buruh yang berserikat dengan tindakan mutasi sepihak hingga terjadinya PHK, mengindikasikan lemahnya peran pemerintah dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan dan minimnya penegakan hukum bagi pengusaha yang melakukan union busting (pemberangusan serikat pekerja).
Dalam hal ini, setiap penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
"Kita tolak upah murah dan meminta Pemerintah Aceh membuat aturan khusus dalam penetapan upah minimum di Aceh yang lebih adil dan memperhatikan kearifan lokal di Aceh," pungkasnya.