Bongkar Muat Batubara di Pelabuhan Dikecam Warga, Pemkab Aceh Barat Terkesan Tak Peduli
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat Edy Syah Putra. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Meulaboh - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat Edy Syah Putra mempertanyakan sejumlah persoalan yang muncul pasca adanya aktivitasbongkar muat dan penumpukan batu bara di Pelabuhan Jetty Ujung Karang, Gampong Suak Indrapuri, Kabupaten Aceh Barat.
“Sebelumnya kita sudah pernah mengingatkan Pemkab Aceh Barat dan dinas terkait bahwa aktivitas perusahaan tambang batu bara PT Prima Bara Mahadana (PBM) sarat dengan berbagai persoalan dan menabrak berbagai aturan,” ujar Edy melalui keterangan tertulis kepada reporter Dialeksis.com, Aceh Besar, Selasa (14/6/2022).
Berdasarkan informasi terbaru dan juga dokumen yang ditemukan, Edy menyatakan, pihak PT PBM melakukan Kerja sama dengan pihak lainnya untuk melakukan aktivitas pengangkutan menuju Pelabuhan Jetty Ujong Karang, Meulaboh.
Namun, kata dia, pihak PT PBM sebagaimana disebutkan oleh Zulfikar selaku pihak yang ditunjuk sebagai salah satu perwakilan PT PBM tidak bertanggung jawab atas pembangunan kompayer di kawasan Pelabuhan Ujung Karang Meulaboh, Aceh Barat, yang kemudian direncanakan untuk pengangkutan batu bara dan bahkan disebutkan itu di luar tanggung jawab PT PBM.
Menurut GeRAK Aceh Barat, pernyataan pihak PT PBM membingungkan publik. Karena bagaimana bisa PT PBM selaku pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) dan bertanggung jawab atas berbagai aktivitas pengangkutan batu bara kemudian menyatakan tidak bertanggung jawab atas pembangunan kompayer di Pelabuhan Jetty Ujong Karang, Meulaboh.
Bahkan pada saat itu, lanjut Edy, GeRAK Aceh Barat juga pernah menyatakan keberatan atas pemakaian jalan negara untuk pengangkutan batu bara dari lokasi tambang milik PT PBM menuju ke Pelabuhan Jetty Ujong Karang, Meulaboh yang dilakukan oleh PT Bumi Tambang Indah (BTI).
Kabar terbaru, GeRAK Aceh Barat menemukan perjanjian pelayanan jasa muat Ke tongkang dan fasilitas penumpukan batu bara antara Perseroda PT Pakat Beusaree yang merupakan milik perusahaan daerah dengan PT BTI.
“Dokumen perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2021 oleh Direktur PT Pakat Beusare yaitu Fajar Hendra Irawan dan Ahmad Nashruddin selaku Direktur PT BTI, kemudian dari dokumen tersebut disebutkan bahwa PT Pakat Beusaree merupakan pihak pengelola Pelabuhan Umum Jetty Meulaboh,” ungkap Edy.
Atas dasar itu, GeRAK Aceh Barat meminta agar persoalan penumpukan batu bara di areal terbuka, tepatnya di depan pelabuhan Jetty Meulaboh, Gampong Suak Indrapuri, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, yang masih terbiarkan menggangg terbuka untuk tidak dibiarkan begitu saja.
Masalahnya, kata Edy, area penumpukan tersebut berada sangat dekat dengan permukiman warga, dan kuat dugaan bahwa hal tersebut akan sangat rentan terjadinya pencemaran lingkungan debu batu bara yang diakibatkan saat angin kencang berhembus.
Sebagaimana dimuat dalam media, masyarakat berharap agar pihak pemerintah daerah mengevaluasi kerjasama dengan PT BTI yang selama ini diduga tidak berjalan ekspor yang diakibatkan batu bara yang dikirim tidak sesuai dengan spek atau keinginan buyer.
Koordinator Gerak Aceh Barat itu juga mempertanyakan komitmen perlindungan lingkungan yang seharusnya tanggap atas kejadian tersebut.
Edy mengaku tak percaya lokasi yang berada ditengah-tengah kota, tapi luput dalam pemantauan atau pengawasan dari pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Aceh Barat.
“Kejadian ini sudah cukup berlansung lama dan kami menduga bahwa Kepala Dinas DLH Kabupaten Aceh Barat seperti ecek-ecek dalam menindaklanjutinya,” tutur Edy.
GeRAK Aceh Barat juga menduga PT BTI dan pihak yang terlibat dalam perjanjian Kerja sama tidak bekerja secara professional, dimana diketahui bahwa batu bara yang direncanakan untuk dikirim ke luar negeri tidak oleh pihak buyer dikarenakan telah bercampur dengan tanah.
Menurut Edy, persoalan lain yang juga tidak kalah penting ialah soal pendapatan untuk daerah pasca perjanjian tersebut berlansung.
“Kami mempertanyakan jasa pasca perjanjian ini telah ditandagtangani, dimana dalam Bab Biaya Penggunaan Jasa, Pasal 5 disebutkan tentang Bentuk Jasa untuk Biaya loading batu bara dan penumpukan dibayar dengan harga Rp15.000 per Metric Ton,” terangnya.
Namun berdasarkan dokumentasi lapangan, GeRAK Aceh Barat menyatakan, menemukan adanya loading batu bara menuju tongkang yang berlansung cukup lama.
“Kami mempertanyakan berapa tonase sudah dilakukan loading batu bara menunju tongkang dan berapa total penerimaan untuk daerah. Hal ini harus diperjelas karena ini merupakan pendapatan untuk daerah,” ungkapnya.
Area Bibir Pelabuhan Rusak
Selain itu, di saat tongkang batu bara tertambat di dekat area bibir pelabuhan, GeRAK Aceh Barat juga menemukan kerusakan yang sangat parah di area Pelabuhan Jetty Ujong Karang Meulaboh.
Berdasarkan foto dokumentasi, terlihat jelas kerusakan di bibir Pelabuhan. Terlihat pula bahwa tempat ikatan tali tambang kapal telah patah dan hampir jatuh ke dalam laut, dimana kemudian terlihat beberapa potongan besi ulir yang terlihat keluar.
Parahnya juga, ketika proses loading batu bara atau bongkar muat batu bara di dekat tongkang. Tumpukan batu bara yang sedang dikeruk oleh sebuah alat excavator yang berada di atas pelabuhan.
“Hal tersebut cukup mengkhawatirkan akan adanya batu bara yang berceceran jatuh ke dalam laut. Atas berbagai perisitiwa tersebut, kami menduga pihak pemerintah dan dinas DLH Kabupaten Aceh Barat diduga seperti plonga-plongo atas berbagai insiden yang terjadi,” tutup Edy. [AKH]