kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Bisakah UU Kesehatan Jadi Acuan Masyarakat Tolak Vaksin, Ini Jawaban Praktisi Hukum

Bisakah UU Kesehatan Jadi Acuan Masyarakat Tolak Vaksin, Ini Jawaban Praktisi Hukum

Jum`at, 15 Januari 2021 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar
Praktisi Hukum, Hermanto [for Dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebagaimana dikutip dari wikipedia, Undang-Undang/Perundang-undangan (UU) merupakan peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. 

Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara. 

Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.

Dalam konsolidasi kehidupan bermasyarakat, banyak UU yang mengatur tentang hak rakyat, salah satunya mengenai hak-hak tentang kesehatan.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terdapat pasal 5 ayat 3 yang berbunyi "Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya."

Bunyi pasal itu secara gamblang menyatakan hak dan kewajiban bagi masyarakat dalam menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan. Akan tetapi bisakah bagi rakyat yang menolak vaksin Sinovac menjadikan undang-undang tersebut sebagai acuan penolakan.

Untuk menjawab itu, Dialeksis.com kemudian menghubungi seorang praktisi hukum, Hermanto untuk dimintai pendapat.

Ia berujar, secara hukum masyarakat dibolehkan menolak vaksin Sinovac jika mengacu kepada undang-undang tersebut.

"Alasan penolakan vaksin pakai undang-undang itu bisa, pakai pasal itu saja sudah cukup," kata Hermanto saat dikonfirmasi Dialeksis.com, Jumat (15/1/2021).

Ia bercerita, pihak Pemerintah DKI Jakarta sebelumnya pernah membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 yang ditandatangini oleh Gubernur Jakarta, Anies Baswedan.

Dalam Perda tersebut terdapat pasal 30 yang menyebut setiap orang yang menolak vaksinasi Covid-19 akan dipidana dengan denda paling banyak Rp 5 juta.

Namun, terkait dengan Perda itu telah diajukan uji materi ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan Pasal 5 ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan juga bertentangan dengan Pasal 3 ayat 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hermanto secara tegas mengatakan, persoalan Covid-19 merupakan persoalan nasional. Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah perlu mengatur regulasi yang mengikat masyarakat secara nasional.

"Seharusnya ada peraturan secara nasional, yang mengikat masyarakat secara nasional sehingga membuat masyarakat itu nggak bingung. Karena acuannya sama dan jelas," jelasnya.

Selain itu, Hermanto berharap pemerintah pusat mampu menjamin pemberian vaksin yang aman dan bermanfaat atau terbukti dapat mencegah infeksi penyebaran Covid-19.

Sedangkan terkait dengan vaksinasi sendiri merupakan respon nasional terhadap pandemi. Oleh karena itu, lanjut dia, pengaturan sanksi jika mau diadakan tak cukup sekadar lewat peraturan daerah. 

“Menyerahkan kewenangan pemberian sanksi pada pemerintah daerah justru akan membuat kerancuan, padahal vaksin adalah respon nasional," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Fira

riset-JSI
Komentar Anda