DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Maraknya laporan terkait dugaan peredaran uang palsu kembali menjadi perhatian di Aceh.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Aceh menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti setiap laporan masyarakat dan perbankan, sekaligus memperkuat edukasi publik agar lebih waspada terhadap modus pemalsuan rupiah.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh, Agus Chusaini, menjelaskan bahwa pihaknya menerima laporan resmi terkait uang yang diragukan keasliannya dari berbagai jalur. Laporan bisa datang dari perbankan, masyarakat, maupun aparat penegak hukum.
“Perbankan wajib memisahkan setiap lembar rupiah yang diragukan keasliannya, lalu menyerahkannya kepada Bank Indonesia untuk diuji. Masyarakat pun bisa melapor langsung ke loket uang palsu di BI atau ke bank terdekat. Sedangkan aparat hukum biasanya berkoordinasi dengan BI ketika ada temuan di lapangan, melalui forum Botasupal (Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu),” kata Agus kepada media dialeksis.com, Jumat (19/9/2025).
Menurut Agus, mekanisme verifikasi keaslian uang rupiah di BI dilakukan dengan mesin deteksi khusus dan uji laboratorium. Jika uang terbukti asli, dapat diganti sesuai ketentuan. Namun, jika terbukti palsu, tidak ada penggantian nilai karena uang tersebut bukan alat pembayaran sah.
“Uang palsu akan dibuatkan berita acara dan diserahkan ke kepolisian untuk diproses sebagai tindak pidana,” tegasnya.
Sejauh ini, KPwBI Aceh tetap memantau perkembangan kasus uang palsu di daerah. Sejak awal tahun 2025, Agus mengungkapkan, pihaknya telah menerima dua permintaan ahli dari Polres Aceh Jaya untuk kepentingan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus pemalsuan uang rupiah.
Agus menekankan bahwa kualitas uang palsu tidak pernah bisa menyamai uang asli. Oleh karena itu, BI terus mendorong masyarakat menggunakan metode sederhana untuk membedakan: Dilihat, Diraba, dan Diterawang (3D).
“Dilihat, perhatikan gambar utama, warna, dan tanda khusus. Diraba, rasakan tekstur kasar pada angka dan huruf tertentu. Diterawang, akan tampak watermark wajah pahlawan dan benang pengaman di dalam uang,” jelas Agus.
Selain metode 3D, BI Aceh gencar melakukan sosialisasi melalui gerakan Cinta, Bangga, Paham Rupiah (CBP Rupiah). Edukasi ini menyasar pelajar, pedagang pasar tradisional, komunitas, hingga pesantren.
“Kami bahkan turun ke daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) melalui Ekspedisi Rupiah Berdaulat, agar masyarakat pelosok bisa memahami ciri-ciri keaslian uang,” tambahnya.
Tidak hanya fokus pada pencegahan uang palsu, BI Aceh juga menyiapkan strategi jangka panjang berupa peningkatan literasi keuangan.
Agus menyebut program Rupiah Goes to School/Campus sudah berjalan, dengan target anak-anak sekolah, mahasiswa, hingga guru sebagai agen edukasi.
“Kami ingin sejak dini masyarakat Aceh terbiasa mengenali dan merawat rupiah. Edukasi ini juga diperkuat lewat media digital, infografis, video animasi, dan aplikasi interaktif Cinta Rupiah berbasis Augmented Reality,” jelas Agus.
Selain itu, BI Aceh juga terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan perbankan agar teller dan petugas frontliner mampu mendeteksi uang palsu lebih dini.
Evaluasi rutin dilakukan melalui survei CBP Rupiah, guna menyesuaikan metode sosialisasi dengan kebutuhan masyarakat, baik melalui tatap muka di desa maupun kampanye digital bagi generasi muda.
Di akhir penjelasannya, Agus Chusaini mengimbau masyarakat Aceh untuk lebih berhati-hati dalam menerima uang tunai.
“Jangan ragu memeriksa uang dengan metode 3D. Kalau ragu, segera laporkan ke bank atau BI. Ingat, uang rupiah adalah simbol kedaulatan negara. Mari kita jaga bersama,” pungkasnya. [nh]