Jum`at, 27 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Bedah Buku "Dua Dekade Damai Aceh": Damai Aceh Butuh Tata Kelola dan Inklusivitas yang Lebih Baik

Bedah Buku "Dua Dekade Damai Aceh": Damai Aceh Butuh Tata Kelola dan Inklusivitas yang Lebih Baik

Kamis, 26 Juni 2025 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baim

Badan Reintegrasi Aceh (BRA) bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menggelar bedah buku bertajuk “Dua Dekade Damai Aceh” di Gedung Serbaguna Museum UIN Ar-Raniry, Kamis (26/7/2025). Foto: dok Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Badan Reintegrasi Aceh (BRA) bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menggelar bedah buku bertajuk “Dua Dekade Damai Aceh” di Gedung Serbaguna Museum UIN Ar-Raniry, Kamis (26/7/2025). Kegiatan ini menghadirkan sejumlah akademisi dan peneliti terkemuka sebagai pembedah buku.

Para pembedah yang hadir antara lain Prof. Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Dr. M. Adli Abdullah, SH, MCL, Dr. Rasyidah, S.Ag, M.Ag, Muazinah Yacob, B.Sc, M.PA, serta Reza Idria, Ph.D. Diskusi berlangsung hangat dengan berbagai masukan kritis terhadap isi dan pendekatan buku tersebut.

Salah seorang pembedah, Muazinah Yacob, dalam pandangannya menyampaikan buku "Dua Dekade Damai Aceh" memiliki kekuatan dalam melihat dua aspek penting: bagaimana damai diperoleh dan bagaimana damai dirawat. Namun demikian, ia menggarisbawahi perlunya penambahan narasi yang menjelaskan akar penyebab konflik sebagai dasar pemahaman sebelum memasuki fase perdamaian.

“Mahasiswa saya pasti akan bertanya, kenapa sih ada konflik? Buku ini langsung bicara tentang damai tanpa menjelaskan penyebab dan proses konflik secara runut,” ujar Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UIN Ar Raniry ini.

Muazinah juga mengkritisi belum adanya pembahasan yang mendalam terkait tata kelola perdamaian. Menurutnya, buku ini lebih banyak menyajikan daftar program, seperti pembagian bibit atau program pemberdayaan, tanpa analisis menyeluruh terhadap efektivitas dan ketepatan sasarannya.

“Kita butuh lebih dari sekadar tidak adanya kekerasan. Buku ini belum menyentuh aspek positive peace yang mencakup keadilan sosial dan inklusivitas. Ini penting agar perdamaian tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga substantif,” tegasnya.

Direktur The Aceh Institute itu juga menyoroti belum terdengarnya suara generasi muda, khususnya dari kalangan mantan kombatan dalam buku tersebut.

“Mohon maaf, di sini semuanya senior, namun saya tidak menemukan suara tokoh-tokoh muda eks kombatan. Ini menjadi penting agar generasi penerus juga punya ruang dalam narasi perdamaian,” tambahnya.

Pun demikian, ia memberikan apresiasi kehadiran buku "Dua Dekade Damai Aceh” yang dinilainya dapat memberi pemahaman dan edukasi terkait proses damai Aceh.

"Buku ini juga memberikan gambaran tentang lembaga-lembaga yang hadir setelah adanya MoU dan adanya informasi pemberdayaan-pemberdayaan yang telah dilakukan BRA," terang Muazinah.

Kegiatan ini menjadi ruang reflektif penting atas dua dekade damai di Aceh, sekaligus pengingat bahwa perjalanan menjaga perdamaian membutuhkan partisipasi semua pihak dan penyempurnaan dalam tata kelola.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra