Batu Bara Tumpah di Aceh Barat, DLH Diminta Turun dan Tindak PT Mifa Bersaudara
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra. [Foto: Net]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra meminta pemerintah daerah melalui dinas terkait, yaitu Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Aceh Barat untuk segera turun ke lokasi tumpahan batu bara yang bertebaran di bibir pantai Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meurebo, Kabupaten Aceh Barat.
Pasalnya, batu bara yang diangkut oleh perusahaan tambang itu bukan kali pertama tumpah, tapi sudah pernah sejak 2017.
Salah satu Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Fuadri bahkan meminta pertanggungjawaban PT. Mifa Bersaudara atas tebaran batu bara tersebut di bibir pantai.
"Artinya, ini menjadi hal yang sangat penting untuk segera dilakukan pemeriksaan atas batu bara tersebut, yaitu dengan melakukan uji sample labotarium. Agar kemudian ada pihak yang harus dimintakan pertanggungjawabannya yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan di laut, terutama biota laut yang ada di area laut tersebut, dan pastinya pihak yang dirugikan adalah nelayan setempat," kata Edy kepada Dialeksis.com, Rabu (15/3/2023).
GeRAK meminta agar Pj Bupati segera memerintahkan dinas terkait untuk menyelidiki peristiwa ini dan memanggil perusahaan yang saat ini sedang melakukan bongkar muat batu bara di laut.
GeRAK sepakat dengan apa yang telah disampaikan oleh Fuadri, bahwa kita jangan terlalu “lebay” atas pendapatan asli daerah dari mineral dan batubara (minerba), namun lupa ketika hal seperti ini muncul.
"Kami menduga fungsi pengawasan yang telah dimandatkan sesuai aturan atas Dinas Lingkungan Hidup tidak berfungsi dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak tercatat berapa kerugian material diakibatkan tumpahan batu bara tersebut di dalam laut, dan itu bila dikalkulasikan dengan apa yang diterima (pendapatan), maka menurut kami itu tidak akan sebanding," ungkapnya.
Lebih lanjut, Edy menjelaskan, peristiwa serupa sudah berlangsung dari tahun 2017, 2019, 2020, 2021 dan sepertinya proses penyelesaian terpetieskan.
Misalnya pada 2017 lalu, kata Edy, masyarakat di pantai wisata di Desa Suak Indrapuri, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat mengeluhkan tentang tumpahan batubara yang mencemari pantai mereka. Dari rekam jejak, beberapa warga mengeluhkan tumpahan batu bara yang telah mencemari pantai itu sangat berdampak pada mata pencariannya sehari-hari, misalnya kios milik mereka sepi dari pembeli.
"Bahkan nelayan tradisional di sini juga sudah sulit mendapatkan ikan saat melaut. Sepatutnya, ada pihak yang harus dikejar untuk bertanggungjawab, sehingga mereka yang terkena dampak langsung wajib mendapatkan kompensasi dan kerusakan lingkungan juga wajib dipulihkan oleh mereka para pelaku," jelasnya.
Namun, lanjutnya, hal itu tidak mampu dilakukan oleh dinas, baik tingkat kabupaten, provinsi, atau bahkan di tingkat kementerian.
Di samping itu, para abdi negara ini, diduga seperti tak berkutik untuk melakukan pemeriksaan atau investigasi asal muasal tumpahan batu bara tersebut.
"Apa yang kami sebutkan, bercermin dari beberapa studi kasus yang telah kami laporkan secara resmi ke dinas terkait. Misalnya saja tumpahan batu bara dari tongkang milik sebuah rekanan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1-2, adapun tongkang tersebut terdampar di pesisir pantai Desa Gampong Lhok, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya," ungkapnya lagi.
Selain itu, kata Edy, tongkang tersebut diduga bermuatan 300 ton batubara sedang memuat batubara di tengah laut dari kapal besar dari luar Aceh, direncanakan batu bara yang berada di atas tongkang tersebut akan dilansir menuju ke PLTU 1-2 di Suak Puntong Nagan Raya milik PLN melalui jalur laut. Namun, hingga saat ini, laporan resmi yang dilayangkan GeRAK kepada Kementerian Lingkungan Hidup (Gakkum) atas aspek hukum di bidang lingkungan hidup diduga telah "mati suri".
GeRAK berharap, pemerintah benar-benar terbuka matanya atas peristiwa yang ke sekian kali ini. Dan atas itu juga, ia meminta hal lainnya yang patut dipertimbangkan adalah berkenaan dengan sanksi atau denda terhadap perusahaan angkut batu bara tersebut telah lalai dalam bekerja, sehingga ada aturan SOP atau aturan undang-undang untuk lebih berhati-hati dalam bekerja.
"Kami melihat bahwa, berbagai persoalan dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masih belum menjadi prioritas, dugaan kami, pemerintah belum mampu untuk menjalankan sepenuhnya atas implementasi UU PPLH No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," jelasnya.
Hal lainnya yang dapat diterapkan adalah tentunya dengan mengacu dalam perspektif atau segi hukum (aturan) seperti merujuk kepada Undang-undang Nomor 3 Tahun 2O2O Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2OO9 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, dimana skemanya memungkinkan pemerintah memberikan sanksi administratif untuk pemulihan. Sanksinya seperti, pembekukan izin, proses audit, pengawasan jalan, dan kemudian ditemukan ada proses yang dilanggar, maka hal ini memungkinkan untuk memberikan sanksi terhadap si pelaku usaha.